Meski
pendhopo istana dikelilingi ksatria dan para brahma, namun sepi di ruang
terbuka itu menyayat begitu dalam. Seolah bergelut dengan batin masing-masing, Astinapura
tampak layaknya kuburan. Semua orang menutup mata atau bahkan pura-pura mati. Seolah
tak ada lagi suara kehidupan yang mampu menembus sunyi di kerajaan itu. Senyap menghantui
kerajaan itu sejak dibukanya Kurusetra.
Gandari. Perempuan itu bangkit dari duduknya.
Tubuhnya sempoyongan tak imbang. Berhari-hari ia tak tidur. Bayangan kereta dan
derap-derap kuda membuatnya tiba-tiba terjaga pada malam hari. Kilatan panah di
kejauhan pada siang hari membuatnya silau meski kedua matanya telah lama tertutup
kain. Berkali-kali ia geser sari sutra yang menutup matanya karena air mata.
Meski bertahun-tahun menutup mata dan berkali-kali menangisi ujian yang ia
hadapi, belum pernah ia membasahi kainnya sedemikian kuyup. Pelan-pelan
tangannya merambati dinding istana menuju tempat sembahyang. Ia duduk terpekur
di depan dupa suci. Dadanya turun naik, tangannya menyimpuh gemetar. Gemetar
bibirnya merapal kidung pujian dan doa-doa.
*
Dewata,
apa kesalahan yang telah hamba lakukan? sedemikian besarkah kesalahan yang
pernah hamba perbuat hingga Kau mengganjarku cobaan yang sedemikian besar?
Ya,
hamba memang pernah menolak perjodohan dengan raja buta suami hamba. Tapi
bukankah itu sangat wajar? Siapa perempuan yang mau bersuamikan lelaki buta
sekalipun ia seorang raja, seorang kesatria sejati? Kebahagiaan apa yang akan
kuperoleh dari suami buta? Dia tak pernah menjadi raja ataupun kesatria yang
sebenarnya. Hamba pun tak pernah menjadi permaisuri yang sebenarnya. Apa yang
kuharap dari kesatria buta? Kesatria yang tak menyentuh medan laga, tak pernah
mengikuti perang? Namun hamba tahu, Kau telah menetapkan takdir hamba.
Apa
arti pesta besar tujuh hari tujuh malam untuk merayakan kebahagiaan hamba
bersuamikan raja buta? Istana dihias sedemikian terang, bertirai sutra kencana.
Ruangan penuh dupa melati dan aneka makanan. Dayang dan penari menyanyikan
tembang dan tarian suka cita, seluruh rakyat berpesta tujuh hari tujuh malam, perwira
dan prajurit berjaga siang malam. Dewata, hamba lalui pesta besar itu dengan
mulut membisu dan air mata yang hanya mengisyaratkan kegelapan dunia hamba. Tak
dapat hamba nikmati kegembiraan dan warna-warni itu. Sementara semua orang
berpesta, hamba harus bergelut dengan awal kegelapan hamba. Hamba harus
berselibat dari cahaya, dan harus berkawan dengan kegelapan yang harus hamba
terima seumur hidup hamba.
Ya,
demi darma hamba maknai jalan gelap ini sebagai takdirMu. Hamba terima seluruh kegelapan
ini. Setiap pagi membuka mata, hamba harus membuka takdir gelap hamba dengan
menjadikan setiap detik dalam hidup hamba sebagai takdirMu.
Ikhlas
hamba menutup mata dari dunia yang serba gemilang itu. Menutup mata hamba dari megahnya
kursi permaisuri, dari semua gemerlap kerajaan, kekayaan dan kemegahan istana
yang seharusnya menjadi milik hamba. Hamba menutup mata dan menyatu dengan
dunia buta suami hamba. Dunia gelap dalam gelimang kemewahan. Oh, Dewata, hamba
melakukan semua itu dengan kebulatan tekad hamba atas takdirMu. Takdir yang tak
satupun pernah hamba keluhkan beratnya.
Dewata,
dan Engkau memberi kami seratus kesatria. Dapatkah hamba ceritakan kebahagiaan
hamba tatkala menerima bayi-bayi kesatria mungil itu di pangkuan hamba? Hamba
yakin, tak pernah cukup air mata bahagia hamba untuk menuntaskan kebahagiaan
yang hamba terima. Itulah kebahagiaan sejati yang hamba miliki dibanding semua
perempuan di dunia ini.
Ya,
seratus kesatria. Adakah perempuan lain yang menyimpan seratus kesatria di
rahimnya? Bahkan seluruh keturunan pandawa pun tak akan menandingi jumlah kesatria
yang kumiliki. Sepenuhnya aku yakin semua ini adalah kehedakMu. Kebahagiaan
yang menjadi buah dari ketabahanku menerima takdirMu.
Oh
Dewata, lalu mengapa Engkau menulis takdir gelap mereka di Kurusetra ini?
Engkau telah melahirkan mereka ke dunia ini sebagai cahaya atas kegelapan
takdirku. Mereka adalah suluh yang membuatku percaya akan kuasaMu, keadilanMu.
Kau mencabut mata dan cahaya dari hidupku, dan menggantinya dengan seratus mata
kesatria. Lalu mengapa mereka harus binasa di Kurusetra ini, Dewata? Mengapa
Kau biarkan mereka membuka Kurusetra?
Oh,
Dewata, mereka lahir dari kebahagiaan yang selalu hamba pertanyakan selama ini.
Hamba menanamkan kerianggembiraan pada diri mereka sekalipun mereka berayahkan
seorang kesatria buta, kesatria yang tak bisa mengajari mereka busur, panah dan
medan pertempuran. Mereka harus beribukan perempuan yang menutup matanya demi jalan
darma. Ibu yang tak tahu apa-apa tentang pertempuran. Mereka tumbuh dari
kegelapan kami, kecacatan kami. Maka bukan salah mereka bila mereka tumbuh
sebagai kesatria yang cacat, kalap dan gelap. Kegelapan ini membuat kami merasa
lemah tanpa daya. Tak mampu kami yang gelap dan lemah ini membesarkan mereka
sebagai kesatria sebagaimana kesatria yang lain, yang paham darma dan seluk
beluk kesatria di laga yang sesungguhnya.
Oh Dewata, hamba melahirkan mereka dalam kegelapan
hamba, tapi lihatlah, mereka tumbuh sebagai kesatria yang sakti. Kami yang memaksa
mereka menjadi kseatria sebagaimana para pendahulu kami, sebagaimana nenek
moyang dan darah kami, sebagaimana cita-cita yang tak pernah dapat kami capai
dalam hidup kami. Kami tanamkan dalam diri mereka darah kesatria sebagaimana
anak-anak kesatria lain di kerajaan ini. Namun rupanya hanya keyakinan kamilah
yang berwujud kesatria. Sedang kami sendiri, orang tua ini, hanyalah kesatria
yang hanya paham jalan darma, bukan jalan kesatria yang sesungguhnya. Maka bukan
salah mereka tumbuh sebagai kesatria yang merusak, membuka Kurusetra menjadi
genangan darah. Semua salah hamba yang telah melahirkan dan membesarkan mereka.
Salah kami yang telah membulatkan hati mereka bahwa mereka adalah kesatria
sejati yang harus bertempur di medan laga. Bukan salah mereka oh, Dewata! Maka hukumlah aku!! hukumlah aku seberat-beratnya!
Tapi jangan hukum mereka!! Mereka hanya anak-anak yang besar dari kecacatan
kami!
Oh
Dewata, dengan keadilanMu, dengan kuasaMu hamba memohon, ampuni mereka. Bukan
salah mereka menjadi durhaka, menjadi pendosa. Bukan salah mereka. Hukum aku, Dewata!!
Hukum hamba seberat-beratnya! Hamba akan menerimanya. Mereka hanyalah anak-anak
yang belajar dari kegelapan kami, dari keterbatasan kami. Kami terlalu lupa,
bahwa anak-anak itu berada pada sisi jalan terang di dunia ini. Namun yang kami
lakukan justru menggelapkan diri kami dengan dunia buta yang kami jalani, dan
melepas mereka ke medan laga. Kami tanamkan secara paksa bibit kesatria pada
diri mereka. Dan anak-anak itu, mereka terlalu muda untuk memahaminya. Maka hukum
aku, Dewata! Hukumlah hamba tapi jangan Kausakiti mereka!
Parau suara Gandari nyaris tak
terdengar. Tangisnya pecah menjadi sunyi di tenggorokan. Air matanya menderas,
lalu sunyi memanjang dalam ruangan.
Lama Gandari mematung, diam
bersimpuh di depan api suci. Tubuh dan bibirnya gemetar. Air mata membasah di
kain penutup matanya. Ingin rasanya ia campakkan kain itu. Namun tubuhnya terlampau
lelah oleh kesedihan. Ia merasa bodoh dengan doanya. Ditariknya nafas
dalam-dalam dan diembuskannya dengan berat.
Dewata,
Kau telah menguji hamba dengan berbagai macam takdir. Tak ada seorang perempuan
pun yang mampu melewati ujian ini kecuali hamba. Hanya sekali ini saja hamba
meminta kepadaMu. Lindungi anak-anakku. Jagalah mereka di Kurusetra. Hamba
percaya darma seperti halnya hamba percaya pada Mu. Jalan darma harus
ditegakkan. Anak-anakku adalah kesatria sejati. Mereka menjalankan darma di Kurusetra.
Gandari berhenti berdoa. Tangisnya tak
lagi luruh menggebu-gebu meski hatinya masih memberat. Dikuatkannya tali kain penutup
matanya yang mengendur karena emosi tak terkendali. Dibenahinya baju dan
kerudung sari dengan hati yang masih nganga terluka. Berlahan ia berjalan mengendap
menuju pendapa, tempat suami dan yang lainnya menunggu berita dari Kurusetra.
*
Matahari bergeser ke barat daya. Suara
terompet terdengar di kejauhan. Tak lama kemudian langkah kuda berderap terburu
memasuki gerbang istana. Seorang kurir perang menghadapkan sembah. Jantung Gandari
berdegup kencang. Dalam hati ia mengeja satu persatu nama anak-anaknya.
Nama
siapa yang akan disebut oleh kurir perang ini? satu persatu wajah anak-anaknya
membayang di pelupuk matanya yang kembali berair. Dewata, inikah jalan darma yang harus kutempuh? Benarkah Kurusetra akan
membinasakan anak-anakku?
Ingin sekali ia menutup telinganya
agar menjadi tuli dan tak mendengar apa-apa lagi, karena ternyata tak cukup
baginya menutup mata seumur hidup untuk memahami jalan darma. Tak pernah cukup…
Rumah Ladam, Juni 2012
Dicatat oleh buletin Pawon edisi September 2013
klw boleh berbicara, kesalahan terbesar gandari dan suami destrarasta adlah menitipkan sepenuhnya anak2 mereka ke pamanya Sengkuni, juga destrarasta cinta buta terhdp anak2 nya, dimanja dan tidak diajarkan menuju jalan kebenaran, destrarasta hanya sibuk dengan mempertahankan gelar raja, sebenarnya secara sah dia memang raja sementara, karena raja yg asli adlh raja pandu lalu secara sah diwariskan ke yudistira
BalasHapus