Kamis, 16 Januari 2014

Semut-semut Api di Kepala Jenderal



/I/
Pagi masih buta. Sebuah ledakan menggema. Lelaki itu menembak layar televisi tua di rumahnya. Lelaki itu panik dan spontan mencabut pistol di pinggangnya demi melihat makhluk kecil itu berlompatan dari layar televisi. Televisi tak menayangkan siaran apapun. Suara krasak krusuk di televisi mengingatkan malam jahanamnya di sebuah peperangan. Ia merasa makhluk itu akan kembali menyerangnya. Ditembaknya televisi tua di depannya. Puing-puing kaca berserakan di sekitar kakinya. Suara ledakan tak begitu mengagetkannya. Ia berjingkat melompat mendapati semut-semut api keluar dari ledakan televisi. Ia arahkan moncong pistolnya ke puing-puing ledakan kaca. Puing puing berkelinting akibat getaran langkah sepatu bootnya yang berangasan.
“Sebelum kau membunuhku, akan kubunuh kau! Kaupikir kau bisa membawaku ke neraka?” teriaknya. Aroma bir bercampur kepasrahan keluar dari mulut tuanya. Ia arahkan moncong pistol ke kepalanya. Sebuah ledakan kembali menggema.
/II/
Lelaki kecil itu menatap ngeri adegan di depannya. Seekor cacing sekarat. Semut merubung tubuh cacing ketika nyawa si cacing masih utuh menempel di ruas tubuh hitam gilig itu. Atau bahkan mungkin cacing itu sama sekali belum sekarat. Ia masih sangat sehat ketika tiba-tiba semut menggotong begitu saja tubuhnya.
Cacing yang semula serba lambat itu tiba-tiba bergerak lincah mengibaskan semut-semut yang menempel di tubuhnya. Cacing itu melompat-lompat geli bercampur gelisah. Namun ia adalah makhluk tanpa daya dari serangan membabi buta semut-semut bernaluri purba itu. Tak lama cacing itu pun mati. Tak bergerak. Tak memberontak. Semut menggotong bangkainya ke liang kecil yang ternyata hanya selebar lidi.
Lelaki kecil itu terpaku menatap peristiwa itu. Di matanya, hewan kecil tertib itu menjadi monster pemakan apa saja. Mereka merambati kaki meja, toples gula, bahkan berderet di dinding demi mengusung bangkai cicak atau kecoa.
Itulah drama tragis pertama yang disaksikannya tentang pembunuhan. Tengah malam, badannya menggigil hebat. Bayangan ribuan semut melayap ke mimpinya. Demam meninggi hingga tubuhnya mengejang tak terkendali. Matanya melotot menatap nanap semut yang berjalan di atas bantal, di atas kasur, bahkan di atas meja. Semut-semut itu bersayap dan membawa pedang besar bergerigi. Mereka beterbangan menyerang. Lelaki kecil itu mengerang panjang. Ibunya panik. Dikompresnya kening anaknya dengan daun salam. Semalaman lelaki kecil itu mengigau demam. Ketika subuh tiba, ratu semut datang menyerangnya. Semut-semut mengerubut percik-percik daun salam yang tercecer di atas seprei. Ia hanya bisa pasrah ketika semut bersayap malaikat pencabut nyawa itu berbondong-bondong mengerumuninya, membawanya terbang, dan menggotongnya ke gua-gua mereka.
/III/
Jejaka tanggung itu mencoba berbagai cara untuk mengusir gelisah dan rasa takut setiap kali makhluk kecil itu muncul. Mereka muncul dimanapun ia berada. Mereka muncul dalam jumlah kecil maupun besar. Mereka memakan apa saja yang mereka temukan seolah tak pernah lelah mencari. Selalu begitu hingga ia tak tahu bagaimana mengatasi takut dan gelisah ketika makhluk itu muncul.
Ia bergidik ngeri membayangkan makhluk kecil itu dalam jumlah ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan. Mereka tinggal di sebuah liang sempit tersembunyi. Ia merinding ngeri membayangkan itu. Pada saat-saat seperti itulah ia merasa ribuan makhluk kecil itu menjalari tubuhnya sebagaimana mereka mengusung cicak, kecoa, atau binatang lain yang mereka bunuh beramai-ramai.
Begitu takut dan gelisah, lelaki itu akhirnya memilih untuk memangsa makhluk-makhluk kecil itu sebelum nyawanya dihabisi oleh makhluk itu. Setiap gelap turun, ditenggaknya minuman keras sebanyak-banyaknya untuk mengusir takut dan gelisah. Tak pernah ia temukan semut-semut itu merubung botol bir atau minuman keras lainnya, bahkan mereka menghindarinya. Lelaki muda itu menyimpulkan cairan keras itu neraka bagi makhluk-makhluk kecil itu. Dalam tubuhnya, mereka akan terbakar buih putih kemranyas yang ditenggaknya. Dan itulah yang dilihatnya ketika ia menandaskan gelas-gelas besarnya. Semut-semut itu tak lagi mendekatinya.
Panas bir yang melewati tenggorokannya seperti sabetan taring semut paling cadas yang merobek tubuhnya. Cubitan semut paling raksasa yang pernah ia bayangkan. Matanya berkunang-kunang, namun perasaannya melayang tenang. Ia merasa telah menghabisi musuh kecilnya dalam perang paling besar. Seketika rasa takut dan gelisah yang ia derita selama bertahun-tahun sirna.
Malam itu ia terlalu banyak minum. Rasa takutnya benar-benar hilang. Ia tancap gas motornya dengan kecepatan tinggi. Ia pasang kecepatan pol nyaris dol hingga motornya oleng menabrak pohon dan terjungkal masuk semak kuburan. Dari arah kegelapan makhluk-makhluk itu kembali menyerang. Beribu-ribu, mungkin berjuta-juta. Antara kesadaran dan ketidaksadaran, antara ketakutan dan kekuatan yang tersisa, ia pasrah. Dengan pedang-pedang kecil di tangan, mereka mengerubuti tubuhnya. Mereka mulai menggergaji mulutnya, mencongkel matanya, memotong hidungnya, mengebor kakinya dan mencatut jantungnya. Ia mengerang panjang. Lalu segalanya menghitam.
/IV/
Sebuah musim pertempuran, begitu ia menyebutnya. Perang dimana-mana. Setiap lelaki muda dikenakan wajib militer. Begitu juga dengan lelaki muda itu. Negara memanggilnya sebagai juru mudi peperangan. Sebagai tentara berpengalaman, ia telah mengikuti banyak perang. Ia telah menjelajah berbagai perang di seluruh penjuru dunia. Ia selalu pulang dengan kemenangan. Namun ia tak tahu harus berbangga atau mengaku kalah ketika terbebas dari maut yang dibawa oleh semut-semut itu.
Ia ingat malam celaka di satu hutan kecil Afrika, saat ia dan anak buahnya memutuskan beristirahat malam itu. Lamat-lamat ia mendengar suara berdengung dalam tidurnya. Seperti pesawat kecil tanpa pemancar di kejauhan. Ia pun bangun. Dalam kegelapan hutan yang hanya mengandalkan  samar cahaya bulan, mulutnya terganga menatap ribuan helm-helm mungil, pasukan semut yang haus darah menuju ke arah mereka. Ia lari, berkejaran dengan maut di tangan semut-semut api.
Ia terus berlari. Ia tak bisa membiarkan begitu saja semut-semut itu memangsanya. Semut-semut pemangsa yang membayangi hidupnya. Ia pun berbalik menatap anak buahnya di belakang. Ia semburkan moncong pistol membabi buta ke arah belakang dan terus berlari. Semut-semut itu berhenti mengejar dan menangkapi mangsa-mangsa yang kelojotan berlumuran darah. Anak buahnya sendiri. Susah payah ia menyelamatkan diri. Malam setelah malam itu seperti malam-malam di neraka. Semut-semut itu tak hanya menjadi monster baginya tapi juga menjadi momok bagi ingatan anak buahnya yang tersisa.
/V/
Lelaki itu berpikir makhluk-makhluk kecil itu sebagai kutukan hidupnya. Ia tak tahu dosa yang telah ia lakukan di kehidupan sebelumnya, namun bayangan makhluk itu terus mengejarnya.
Musim perang telah berlalu. Setelah purna dari tugas kemiliteran, ia ingin pulang dan menikmati hidup di kota kelahiran dengan tenang. Ia ingin menghabiskan waktu tanpa suara meriam, pistol atau cerita-cerita perang. Ia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam perang-perang yang tak pernah usai. Sekarang ia hanya ingin hidup tenang dan mati sewaktu-waktu dengan damai.
Selama  perang, ia selalu berdoa agar ia tak mati di tanah peperangan. Ia ingin mati di tanah kelahiran dan orang-orang akan mengenang namanya. Itulah yang ia inginkan. Ia pun pulang ke tanah kelahirannya. Ia dielu-elukan sebagai pahlawan. Penduduk kota memanggilnya “Jenderal” sebagai simbol kepahlawanannya.
Ia tak menyangka makhluk itu masih mengikutinya, merusak kedamaian yang ia rencanakan. Tak pernah ia bayangkan tubuhnya dijarah sedemikian rupa. Hampir sepanjang malam ia kesemutan hingga tak sedetikpun dapat memicingkan mata. Semut-semut itu berjalan dan menjajah-jajah tubuh, kaki dan tangannya. Veteran tua itu hanya bisa mengerang panjang ketika mereka berbondong-bondong datang dengan senjatanya. Semakin hari tubuhnya makin memberat kaku. Susah payah ia berjalan. Mereka, semut-semut itu, telah memblokir tulang-tulangnya. Dokter memvonis semut-semut itu telah membuat sarang di dalam urat tubuhnya.
/VI/
Ia telah memenangkan peperangan melawan ketakutan yang berkuasa di kepalanya. Berkali-kali ia mati dan dibangkitkan kembali dalam kehidupan yang tak menidurkan nafas perang dalam dirinya. Baginya hidup adalah ladang perang yang tak pernah lerai. Karenanya, ia tak akan membiarkan semut-semut itu menguasai kepalanya. Mereka telah menjarah tubuh, kaki, tangan dan juga ingatannya. Ia tak akan membiarkannya. Inilah perang besar yang tak pernah usai itu. Ia harus mempertahankan kepalanya agar tak dipenuhi semut-semut gila itu. Ia tembakkan moncong pistol itu ke kepalanya, satu-satunya benteng yang tak boleh dikuasai siapapun kecuali dirinya. Itulah satu-satunya cara untuk benar-benar mengakhiri perang besar ini.
Suara tembakan itu membangunkan para tetangga. Orang-orang keluar dari rumah dan saling bertanya yang terjadi. Mereka menemukan mayat Jenderal dengan darah mengalir di dahi. Lelaki tua itu mati dengan memegang pistol dan botol jenewer di tangan. Di depannya puing-puing kaca bertebaran seperti salju. Seorang tetangga menelpon polisi.
Ketika polisi datang, mayat lelaki itu hilang. Tak ada yang tahu siapa yang membawa mayat Jenderal. Hanya rangka televisi kosong tanpa layar yang menjadi saksi ke mana mayat itu pergi. Rongsokan televisi tua yang bolong. Sebutir peluru menancap di kenop belakang.
Polisi terus mencari ke mana mayat itu pergi. Tetesan darah mengarah ke tepi jendela. Mungkinkah mayat Jenderal dicuri? Untuk apa mencuri mayat veteran perang yang sudah pikun dan hidup sebatang kara? Mungkinkah malaikat maut benar-benar membawanya terbang? Tak ada yang tahu. Polisi terus mencari sementara semut-semut mengerubut bercak darah yang tercecer di ruang tengah.
Rumah Ladam, Oktober 2012
Dicatat oleh Suara Merdeka, 24 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar