/I/
Pagi masih buta. Sebuah ledakan
menggema. Lelaki itu menembak layar televisi tua di rumahnya. Lelaki itu panik
dan spontan mencabut pistol di pinggangnya demi melihat makhluk kecil itu
berlompatan dari layar televisi. Televisi tak menayangkan siaran apapun. Suara krasak krusuk di televisi mengingatkan
malam jahanamnya di sebuah peperangan. Ia merasa makhluk itu akan kembali
menyerangnya. Ditembaknya televisi tua di depannya. Puing-puing kaca berserakan
di sekitar kakinya. Suara ledakan tak begitu mengagetkannya. Ia berjingkat
melompat mendapati semut-semut api keluar dari ledakan televisi. Ia arahkan
moncong pistolnya ke puing-puing ledakan kaca. Puing puing berkelinting akibat
getaran langkah sepatu bootnya yang
berangasan.
“Sebelum kau membunuhku, akan kubunuh
kau! Kaupikir kau bisa membawaku ke neraka?” teriaknya. Aroma bir bercampur
kepasrahan keluar dari mulut tuanya. Ia arahkan moncong pistol ke kepalanya.
Sebuah ledakan kembali menggema.
/II/
Lelaki kecil itu menatap ngeri adegan
di depannya. Seekor cacing sekarat. Semut merubung tubuh cacing ketika nyawa si
cacing masih utuh menempel di ruas tubuh hitam gilig itu. Atau bahkan mungkin
cacing itu sama sekali belum sekarat. Ia masih sangat sehat ketika tiba-tiba
semut menggotong begitu saja tubuhnya.
Cacing yang semula serba lambat itu tiba-tiba
bergerak lincah mengibaskan semut-semut yang menempel di tubuhnya. Cacing itu
melompat-lompat geli bercampur gelisah. Namun ia adalah makhluk tanpa daya dari
serangan membabi buta semut-semut bernaluri purba itu. Tak lama cacing itu pun mati.
Tak bergerak. Tak memberontak. Semut menggotong bangkainya ke liang kecil yang
ternyata hanya selebar lidi.
Lelaki kecil itu terpaku menatap
peristiwa itu. Di matanya, hewan kecil tertib itu menjadi monster pemakan apa
saja. Mereka merambati kaki meja, toples gula, bahkan berderet di dinding demi
mengusung bangkai cicak atau kecoa.
Itulah drama tragis pertama yang
disaksikannya tentang pembunuhan. Tengah malam, badannya menggigil hebat.
Bayangan ribuan semut melayap ke mimpinya. Demam meninggi hingga tubuhnya
mengejang tak terkendali. Matanya melotot menatap nanap semut yang berjalan di
atas bantal, di atas kasur, bahkan di atas meja. Semut-semut itu bersayap dan
membawa pedang besar bergerigi. Mereka beterbangan menyerang. Lelaki kecil itu
mengerang panjang. Ibunya panik. Dikompresnya kening anaknya dengan daun salam.
Semalaman lelaki kecil itu mengigau demam. Ketika subuh tiba, ratu semut datang
menyerangnya. Semut-semut mengerubut percik-percik daun salam yang tercecer di
atas seprei. Ia hanya bisa pasrah ketika semut bersayap malaikat pencabut nyawa
itu berbondong-bondong mengerumuninya, membawanya terbang, dan menggotongnya ke
gua-gua mereka.
/III/
Jejaka
tanggung itu mencoba berbagai cara untuk mengusir gelisah dan rasa takut setiap
kali makhluk kecil itu muncul. Mereka muncul dimanapun ia berada. Mereka muncul
dalam jumlah kecil maupun besar. Mereka memakan apa saja yang mereka temukan
seolah tak pernah lelah mencari. Selalu begitu hingga ia tak tahu bagaimana
mengatasi takut dan gelisah ketika makhluk itu muncul.
Ia
bergidik ngeri membayangkan makhluk kecil itu dalam jumlah ribuan, ratusan ribu
bahkan jutaan. Mereka tinggal di sebuah liang sempit tersembunyi. Ia merinding
ngeri membayangkan itu. Pada saat-saat seperti itulah ia merasa ribuan makhluk
kecil itu menjalari tubuhnya sebagaimana mereka mengusung cicak, kecoa, atau
binatang lain yang mereka bunuh beramai-ramai.
Begitu
takut dan gelisah, lelaki itu akhirnya memilih untuk memangsa makhluk-makhluk
kecil itu sebelum nyawanya dihabisi oleh makhluk itu. Setiap gelap turun,
ditenggaknya minuman keras sebanyak-banyaknya untuk mengusir takut dan gelisah.
Tak pernah ia temukan semut-semut itu merubung botol bir atau minuman keras
lainnya, bahkan mereka menghindarinya. Lelaki muda itu menyimpulkan cairan
keras itu neraka bagi makhluk-makhluk kecil itu. Dalam tubuhnya, mereka akan
terbakar buih putih kemranyas yang
ditenggaknya. Dan itulah yang dilihatnya ketika ia menandaskan gelas-gelas
besarnya. Semut-semut itu tak lagi mendekatinya.
Panas
bir yang melewati tenggorokannya seperti sabetan taring semut paling cadas yang
merobek tubuhnya. Cubitan semut paling raksasa yang pernah ia bayangkan.
Matanya berkunang-kunang, namun perasaannya melayang tenang. Ia merasa telah
menghabisi musuh kecilnya dalam perang paling besar. Seketika rasa takut dan
gelisah yang ia derita selama bertahun-tahun sirna.
Malam
itu ia terlalu banyak minum. Rasa takutnya benar-benar hilang. Ia tancap gas
motornya dengan kecepatan tinggi. Ia pasang kecepatan pol nyaris dol hingga
motornya oleng menabrak pohon dan terjungkal masuk semak kuburan. Dari arah kegelapan
makhluk-makhluk itu kembali menyerang. Beribu-ribu, mungkin berjuta-juta.
Antara kesadaran dan ketidaksadaran, antara ketakutan dan kekuatan yang
tersisa, ia pasrah. Dengan pedang-pedang kecil di tangan, mereka mengerubuti
tubuhnya. Mereka mulai menggergaji mulutnya, mencongkel matanya, memotong
hidungnya, mengebor kakinya dan mencatut jantungnya. Ia mengerang panjang. Lalu
segalanya menghitam.
/IV/
Sebuah
musim pertempuran, begitu ia menyebutnya. Perang dimana-mana. Setiap lelaki
muda dikenakan wajib militer. Begitu juga dengan lelaki muda itu. Negara
memanggilnya sebagai juru mudi peperangan. Sebagai tentara berpengalaman, ia
telah mengikuti banyak perang. Ia telah menjelajah berbagai perang di seluruh
penjuru dunia. Ia selalu pulang dengan kemenangan. Namun ia tak tahu harus
berbangga atau mengaku kalah ketika terbebas dari maut yang dibawa oleh
semut-semut itu.
Ia
ingat malam celaka di satu hutan kecil Afrika, saat ia dan anak buahnya
memutuskan beristirahat malam itu. Lamat-lamat ia mendengar suara berdengung
dalam tidurnya. Seperti pesawat kecil tanpa pemancar di kejauhan. Ia pun
bangun. Dalam kegelapan hutan yang hanya mengandalkan samar cahaya bulan, mulutnya terganga menatap
ribuan helm-helm mungil, pasukan semut yang haus darah menuju ke arah mereka. Ia
lari, berkejaran dengan maut di tangan semut-semut api.
Ia
terus berlari. Ia tak bisa membiarkan begitu saja semut-semut itu memangsanya.
Semut-semut pemangsa yang membayangi hidupnya. Ia pun berbalik menatap anak
buahnya di belakang. Ia semburkan moncong pistol membabi buta ke arah belakang
dan terus berlari. Semut-semut itu berhenti mengejar dan menangkapi
mangsa-mangsa yang kelojotan berlumuran darah. Anak buahnya sendiri. Susah
payah ia menyelamatkan diri. Malam setelah malam itu seperti malam-malam di
neraka. Semut-semut itu tak hanya menjadi monster baginya tapi juga menjadi
momok bagi ingatan anak buahnya yang tersisa.
/V/
Lelaki
itu berpikir makhluk-makhluk kecil itu sebagai kutukan hidupnya. Ia tak tahu
dosa yang telah ia lakukan di kehidupan sebelumnya, namun bayangan makhluk itu
terus mengejarnya.
Musim
perang telah berlalu. Setelah purna dari tugas kemiliteran, ia ingin pulang dan
menikmati hidup di kota kelahiran dengan tenang. Ia ingin menghabiskan waktu
tanpa suara meriam, pistol atau cerita-cerita perang. Ia telah menghabiskan
sebagian besar hidupnya dalam perang-perang yang tak pernah usai. Sekarang ia
hanya ingin hidup tenang dan mati sewaktu-waktu dengan damai.
Selama perang, ia selalu berdoa agar ia tak mati di tanah
peperangan. Ia ingin mati di tanah kelahiran dan orang-orang akan mengenang
namanya. Itulah yang ia inginkan. Ia pun pulang ke tanah kelahirannya. Ia
dielu-elukan sebagai pahlawan. Penduduk kota memanggilnya “Jenderal” sebagai
simbol kepahlawanannya.
Ia tak
menyangka makhluk itu masih mengikutinya, merusak kedamaian yang ia rencanakan.
Tak pernah ia bayangkan tubuhnya dijarah sedemikian rupa. Hampir sepanjang
malam ia kesemutan hingga tak sedetikpun dapat memicingkan mata. Semut-semut
itu berjalan dan menjajah-jajah tubuh, kaki dan tangannya. Veteran tua itu
hanya bisa mengerang panjang ketika mereka berbondong-bondong datang dengan
senjatanya. Semakin hari tubuhnya makin memberat kaku. Susah payah ia berjalan.
Mereka, semut-semut itu, telah memblokir tulang-tulangnya. Dokter memvonis
semut-semut itu telah membuat sarang di dalam urat tubuhnya.
/VI/
Ia telah memenangkan peperangan melawan
ketakutan yang berkuasa di kepalanya. Berkali-kali ia mati dan dibangkitkan
kembali dalam kehidupan yang tak menidurkan nafas perang dalam dirinya. Baginya
hidup adalah ladang perang yang tak pernah lerai. Karenanya, ia tak akan
membiarkan semut-semut itu menguasai kepalanya. Mereka telah menjarah tubuh,
kaki, tangan dan juga ingatannya. Ia tak akan membiarkannya. Inilah perang
besar yang tak pernah usai itu. Ia
harus mempertahankan kepalanya agar tak dipenuhi semut-semut gila itu. Ia
tembakkan moncong pistol itu ke kepalanya, satu-satunya benteng yang tak boleh
dikuasai siapapun kecuali dirinya. Itulah satu-satunya cara untuk benar-benar
mengakhiri perang besar ini.
Suara tembakan itu membangunkan para
tetangga. Orang-orang keluar dari rumah dan saling bertanya yang terjadi.
Mereka menemukan mayat Jenderal dengan darah mengalir di dahi. Lelaki tua itu
mati dengan memegang pistol dan botol jenewer di tangan. Di depannya
puing-puing kaca bertebaran seperti salju. Seorang tetangga menelpon polisi.
Ketika polisi datang, mayat lelaki itu
hilang. Tak ada yang tahu siapa yang membawa mayat Jenderal. Hanya rangka televisi
kosong tanpa layar yang menjadi saksi ke mana mayat itu pergi. Rongsokan
televisi tua yang bolong. Sebutir peluru menancap di kenop belakang.
Polisi terus mencari ke mana mayat itu
pergi. Tetesan darah mengarah ke tepi jendela. Mungkinkah mayat Jenderal
dicuri? Untuk apa mencuri mayat veteran perang yang sudah pikun dan hidup
sebatang kara? Mungkinkah malaikat maut benar-benar membawanya terbang? Tak ada
yang tahu. Polisi terus mencari sementara semut-semut mengerubut bercak darah
yang tercecer di ruang tengah.
Rumah
Ladam, Oktober 2012
Dicatat
oleh Suara Merdeka, 24 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar