Dan gunung-gunung pun bergema,
memanggil nasib dan mengantar manusia menuju takdir yang tetap untuknya. Diluar
kekuatan tangan dan hati manusia, ada sebuah jalan yang telah ditetapkan untuk
menjadi garis tangan, sesuatu yang sangat kuat memaksa sehingga manusia hanya
bisa pasrah menerima, apapun dan bagaimanapun cara melaluinya. Itulah takdir, sebuah
garis Tuhan, cikal bakal keputus-asaan bagi manusia-manusia yang tak berdaya menerima
takdir gelap yang harus berjalan padanya. Takdir dan terang-gelapnya itulah
garis besar pembahasan novel ini.
Tak seperti karya-karya sebelumnya, dalam
novel ini Khaled Hosseini (KH) menguras perasaan pembaca dengan metode yang lebih
ramah perasaan. Pembaca bisa lebih hemat emosi dan air mata dibanding ketika
kita membaca Kite Runner yang begitu
menyesakkan ulu hati. Terasa lebih datar dan gejolak yang tak terlalu dominan.
Cerita dibuka dengan sebuah dongeng
seorang ayah sebelum tidur. Dongeng tentang jin, yang kemudian dapat
ditafsirkan sebagai kelangsungan kehidupan tokoh keluarga inti ini. Cerita
tentang Div, jin yang mengambil anak-anak dari orang tuanya yang miskin di desa,
untuk kehidupan yang lebih baik. Sebuah cerita yang mengingatkan kita pada
cerita tentang perbincangan nabi Sulaiman dengan seekor jin yang berasal dari
jaman nabi Adam. Jin yang berusaha menyelamatkan anak-anak untuk dapat mengenyam
kehidupan yang lebih baik daripada ketika bersama orang tuanya yang miskin dan
nyaris tidak menjanjikan kehidupan. Seperti itulah yang kemudian terjadi pada
Abdullah dan Pari. Abdullah harus melepaskan Pari, adik sekandung satu-satunya
untuk kehidupan yang lebih baik bagi mereka, bagi Pari, bagi Abdullah, dan bagi
keluarga itu.
Benang merah cerita ini bertolak dari
dongeng awal tentang div yang kemudian menjadi kunci kehidupan Abdullah dan
Pari. Mencermati kembali dongeng kunci itu, dan membandingkannya dengan cerita
yang kemudian muncul, mungkin KH lupa, bahwa dalam dongeng itu diceritakan
tentang ramuan ajaib yang membuat si manusia lupa. Si anak akan lupa asal-usul
dan keluarganya, sementara sang ayah lupa akan pertemuan dengan div, lupa
dengan panjangnya perjalanan menuju bukit tempat Div tinggal, dan bahkan lupa
akan nama anak yang ia serahkan pada Div. Pada isi cerita yang sebenarnya,
cerita tentang Abdullah dan Pari, ramuan itu tidak benar-benar ada. Dan inilah
hal yang mungkin terlupa untuk diceritakan KH. Nasib Abdullah pasca perpisahan
tidak disinggung meskipun pada akhir cerita digambarkan Abdullah tua yang tidak
dapat melupakan kesedihannya akibat kehilangan Pari. Pada akhir cerita hanya
digambarkan tentang sikap over protektif
terhadap anak perempuan satu-satunya karena trauma akan kehilangan adiknya, dst.
Demikian pula dengan kisah ayah mereka
pasca perpisahan itu. Padahal, kalau KH mau menguras perasaan pembaca seperti
karya-karyanya yang lain, kita bisa menikmati bagaimana kisah patah Abdullah
ketika kembali pulang ke Sadbagh, mungkin tangisan ayah yang tak akan pernah
bisa melihat kembali putrinya, hubungan yang terjadi antara ayah dan anak itu
kemudian, kisah Abdullah menghadapi “bulu-bulu” koleksi Pari di rumah, kisah
tentang sikap Parwana (ibu tiri Abdullah) ketika menyambut mereka dan hubungan
antara Parwana dan Abdullah. Kisah-kisah tragis seperti inilah yang diharapkan
akan muncul untuk menjadi bumbu novel ini. Tapi tidak.
Sama sekali tak ada cerita dan air mata
pembaca tentang keluarga itu kecuali generasi setelahnya. Hal ini terasa
timpang dengan penceritaan tentang Pari. Pari tak dapat mengenali masa lalunya,
Abdullah satu-satunya tumpuannya, bahkan tempat ia dilahirkan dan bahkan tidak
disinggung pula kesedihan Pari setelah perpisahan dengan Abdullah, seolah-olah
Pari benar-benar meminum ramuan Div. Pari nyaris lupa segalanya, tidak
mengingat apapun, dan begitu mudah dibentuk sebagai karakter tokoh yang tak
berdosa oleh penulis.
Cerita dalam novel ini disajikan dengan
terpotong-potong. Bercampur aduk angka tahun namun tetap independen setiap
tokoh. Sembilan bab untuk menceritakan sembilan garis besar kehidupan tokoh.
Pada ujung akhir novel, cerita-cerita itu akan menjelma benang merah yang
menjalin sebuah cerita utuh dari awal. Memang, masing-masing bab adalah bab
“gemuk” sarat cerita yang terkadang menyimpang dari cerita utama dan bahkan
keluar dari judul. Namun justru disitulah warna novel ini : tak pernah ada
tokoh utama.
Metode penulisan novel ini mirip sebuah
kumpulan biografi tokoh yang akan berakhir pada akhir bab, yang diceritakan
dengan metode akuan. Dengan demikian pembaca dimudahkan untuk memahami karakter-karakter
tokoh dari pengakuan dan penceritaan tokoh “aku”.
Bagian terbaik yang ada pada novel ini
adalah bagian awal, yang menggambarkan kemiskinan keluarga Abdullah. Pada
bagian ini digambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat di negara miskin.
Kemiskinan yang seolah menjadi garis yang nyaris tak dapat ditentang. Bagian
awal inilah bagian yang paling tragis dalam novel ini. Selain itu, pertemuan
dan perbincanagan sang ayah dengan Div, adalah perbincangan yang sarat dengan
sindiran akan kehidupan dan karakter manusia, keberanian, keikhlasan, dan keterbatasan-keterbatasan
manusia dalam kehidupan. Keterbatasan kekuatan, akal, waktu dan keterbatasan
yang lain.
Bagian terbaik yang lain adalah bagian tokoh
Markos. Ada banyak keunikan pada bab ini, baik keunikan cerita, karakter tokoh,
maupun keutuhan cerita. Pada bagian ini karakter tokoh dipersilangkan. Karakter
tokoh Markos dan Madelaine adalah cerita yang samar dapat dipahami sebagai
karakter yang sama sekalipun mereka tidak memiliki hubungan apapun. Sama-sama
ingin lari dari kenyataan, sama-sama ingin keluar dari apapun yang mengungkung
dan membatasi. Dan pembaca dipahamkan mengenai hal ini oleh pengakuan tokoh
Marcos yang iri setelah membaca
kematian Madelaine di koran dan mendapati bahwa wanita itu memiliki kebahagiaan
dan kehidupan yang tak seperti ada dalam bayangan dan pengharapannya. Madelaine
tetap menjadi seorang artis dan seniman sukses dan telah dapat “lari” dari
hal-hal yang mengungkungnya (putrinya yang berwajah buruk). Dan karakter Odie
(ibu Marcos) dan Thalia (anak Madelaine)adalah karakter yang sama. mereka
adalah orang-orang yang menerima takdirnya dengan kuat, meskipun mereka
memiliki kekurangan secara fisik.
Thalia dan Odie adalah tokoh istimewa
dalam novel ini. Seorang yang dapat menerima dirinya dengan pasrah. Menerima takdir
mereka dengan baik, dengan kuat, sehingga dapat membuat keputusan yang masuk
akal pula. Thalia sebagai seorang anak yang cerdas dalam membaca dengan baik
karakter ibunya. Sedangkan Odie ternyata
tak dapat dibaca dengan benar oleh tokoh Marcos. Persamaan-persamaan inilah
yang mengaitkan tokoh Odie dan Thalia sebagai tokoh yang survive hingga akhir cerita. Gambaran seorang yang kuat menerima
takdir meskipun takdir itu gelap, dan mereka dapat menyelesaikan segalanya dengan tepat.
Bab ini sangat menyentuh, terutama pada
hubungan keluarga yang benar-benar harmonis. Perbincangan Marcos dan ibunya
setelah Marcos kembali dari Afganistan adalah jawaban yang menyudutkan Marcos
atas pencarian dan kepengecutannnya selama ini. Pencarian yang seolah-olah
hanya akan ia dapatkan dari petualangan-petualangannya yang tak lain adalah
sebagai alasan untuk lari dari kenyataan yang harus dihadapinya. Namun ternyata
justru ia dapatkan jawaban itu pada ibunya, yang selama ini ia anggap sebagai “kendala”
nya dengan dunia.
Mama
menatap mataku. Kemudian dia menambahkan sesendok gula ke cangkirnya, lalu
mengaduknya perlahan. “Ini lucu, Marcos, tapi orang-orang biasanya mundur. Mereka mengira menjalani kehidupan
berdasarkan keinginan mereka. Padahal
sesungguhnya ketakutan merekalah yang mengatur mereka. Apa yang mereka
inginkan”
“Aku
tak mengerti, Mama.”
“Yah,
misalnya kamu. Pergi dari sini. Kehidupan yang kau bangun untuk dirimu sendiri.
Kau takut akan terkungkung di sini. Bersamaku. Kau takut aku akan menahanmu.
Atau contoh lainnya, Thalia. Dia tetap di sini karena tidak ingin dipandangi
lagi.” (hlm. 430)
Dari perbincangan ini, tampaklah bahwa
tema besar bab ini adalah manusia dan takdir. Bagaimana keputusan-keputusan
yang telah mereka ambil dalam kehidupan, adalah takdir yang tak dapat mereka
tentang. Pemahaman Odie tentang upaya Marcos untuk menemukan takdir yang lebih
baik sebagaimana Madelaine hanyalah sia-sia karena mereka tidak memahami dan
belum menerima kekuatan, ketakutan dan kemampuannya sendiri.
Novel
ini adalah sebuah drama keluarga yang panjang. Namun ciri keluarga tidak tampak
pada bagian-bagian lain yang menjadi kisah utama dalam novel ini (kisah
Abdullah, Pari dan keluarga besarnya). Justru pada bagian keluarga Marcos inilah
gambaran komunikasi, kasih sayang, dan perhatian keluarga muncul. Tokoh-tokoh
pada bagian bab yang lain menggambarkan tentang kasih sayang, perhatian dan
harmonisasi terbentuk dari orang-orang di luar rumah. Justru pada bagian ini,
bagian yang terdiri dari untaian logis perasaan tokoh akuan yang tak mengenal
romantisme, tak berpuisi, dan nyaris berbicara tentang hal-hal riil, keunikan
dapat sering ditemui meskipun kisah mereka bukan cerita utama dalam novel ini. Keunikan
lain pada bagian ini adalah teknik KH menuliskan hitungan saat Thalia dan
Marcos mencoba kamera buatan tangan mereka dengan hitungan, bagian ini sangat
unik dan tak biasa. Pemampatan biografi perjalanan Marcos di luar rumah, yang
ditulis dalam satu adegan rumah, adegan yang melekat kuat dalam dirinya.
Dan
akhir dari bab bagian ini sangat manis, paling manis meskipun pada bab ini
ditampilkan tokoh-tokoh berkarakter keras, dingin dan memiliki latar belakang
yang cadas. Sedikit saya mengutip bagian akhir yang sangat saya sukai itu : Tetap saja, ibuku berkata, “Ini cantik
bukan, Marcos?” Aku berkata kepadanya “Ya, Mama. Ini cantik,” dan ketika
sesuatu mulai menganga lebar di hatiku, aku meraih dan menggenggam tangan ibuku.
Ini adalah bagian akhir bab yang paling akrab, dekat, dan romantis mengingat
hubungan antara Marcos dan ibunya yang berjarak. Ini adalah akhir paling manis dibanding
akhir-akhir bab yang lain.
Dan kalau boleh saya menyandingkan
kedua pembahasan itu, saya akan menyimpulkan kisah ini sebagai kisah tentang tali
persaudaraan yang saling bersilangan. Abdullah kehilangan Pari, saudara kandung
satu-satunya yang ia anggap sebagai seorang yang sempurna. Sedangkan Marcos justru
menemukan saudara (meski mereka tidak sekandung), Thalia, yang tidak sempurna
(karena cacat fisiknya). Dan soal perasaan “kehilangan” atau pula “menemukan”
itu, dapatlah kita mengutip kembali kata-kata Div pada Baba Ayub di depan : Jika kau hidup selama aku, kau akan mengerti
bahwa kekejaman dan kemuliaan hanyalah nuansa berbeda dari warna yang sama.
Inilah yang merupakan kesimpulan dari
novel ini, menurut saya. Sebuah pencarian, sebuah pemahaman, untuk dapat
menerima apapun yang hidup berikan kepada kita. Terang dan gelap adalah hal
yang perlu dipahami.
Dan Gunung-gunung pun Bergema,
memanggil nasib dan suratan manusia. Mengantar manusia menemui takdirnya. Menemukan
jawaban atas pertanyaan yang selama ini mereka cari dalam kehidupan.
Menaklukkan petualangan yang mereka hadapi demi membayar kebebasan. Demi suara-suara
di masa lalu yang menjadi akar kehidupan. Berbahagialah mereka yang dapat
merajut kisah utuh hidupnya atas nama keluarga. Atas nama darah yang sama, yang
mengalir dalam tubuh. Berbahagialah kita, yang aman tentram di tanah tumpah
darah yang tak terusik senjata. Berbahagialah mereka, darah-darah yang tak
terpisahkan.
Rumah Ladam, November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar