Jumat, 17 Januari 2014

And The Mountains Echoed, Gema di Ruang Takdir Manusia



Dan gunung-gunung pun bergema, memanggil nasib dan mengantar manusia menuju takdir yang tetap untuknya. Diluar kekuatan tangan dan hati manusia, ada sebuah jalan yang telah ditetapkan untuk menjadi garis tangan, sesuatu yang sangat kuat memaksa sehingga manusia hanya bisa pasrah menerima, apapun dan bagaimanapun cara melaluinya. Itulah takdir, sebuah garis Tuhan, cikal bakal keputus-asaan bagi manusia-manusia yang tak berdaya menerima takdir gelap yang harus berjalan padanya. Takdir dan terang-gelapnya itulah garis besar pembahasan novel ini.
Tak seperti karya-karya sebelumnya, dalam novel ini Khaled Hosseini (KH) menguras perasaan pembaca dengan metode yang lebih ramah perasaan. Pembaca bisa lebih hemat emosi dan air mata dibanding ketika kita membaca Kite Runner yang begitu menyesakkan ulu hati. Terasa lebih datar dan gejolak yang tak terlalu dominan.
Cerita dibuka dengan sebuah dongeng seorang ayah sebelum tidur. Dongeng tentang jin, yang kemudian dapat ditafsirkan sebagai kelangsungan kehidupan tokoh keluarga inti ini. Cerita tentang Div, jin yang mengambil anak-anak dari orang tuanya yang miskin di desa, untuk kehidupan yang lebih baik. Sebuah cerita yang mengingatkan kita pada cerita tentang perbincangan nabi Sulaiman dengan seekor jin yang berasal dari jaman nabi Adam. Jin yang berusaha menyelamatkan anak-anak untuk dapat mengenyam kehidupan yang lebih baik daripada ketika bersama orang tuanya yang miskin dan nyaris tidak menjanjikan kehidupan. Seperti itulah yang kemudian terjadi pada Abdullah dan Pari. Abdullah harus melepaskan Pari, adik sekandung satu-satunya untuk kehidupan yang lebih baik bagi mereka, bagi Pari, bagi Abdullah, dan bagi keluarga itu.
Benang merah cerita ini bertolak dari dongeng awal tentang div yang kemudian menjadi kunci kehidupan Abdullah dan Pari. Mencermati kembali dongeng kunci itu, dan membandingkannya dengan cerita yang kemudian muncul, mungkin KH lupa, bahwa dalam dongeng itu diceritakan tentang ramuan ajaib yang membuat si manusia lupa. Si anak akan lupa asal-usul dan keluarganya, sementara sang ayah lupa akan pertemuan dengan div, lupa dengan panjangnya perjalanan menuju bukit tempat Div tinggal, dan bahkan lupa akan nama anak yang ia serahkan pada Div. Pada isi cerita yang sebenarnya, cerita tentang Abdullah dan Pari, ramuan itu tidak benar-benar ada. Dan inilah hal yang mungkin terlupa untuk diceritakan KH. Nasib Abdullah pasca perpisahan tidak disinggung meskipun pada akhir cerita digambarkan Abdullah tua yang tidak dapat melupakan kesedihannya akibat kehilangan Pari. Pada akhir cerita hanya digambarkan tentang sikap over protektif terhadap anak perempuan satu-satunya karena trauma akan kehilangan adiknya, dst.
Demikian pula dengan kisah ayah mereka pasca perpisahan itu. Padahal, kalau KH mau menguras perasaan pembaca seperti karya-karyanya yang lain, kita bisa menikmati bagaimana kisah patah Abdullah ketika kembali pulang ke Sadbagh, mungkin tangisan ayah yang tak akan pernah bisa melihat kembali putrinya, hubungan yang terjadi antara ayah dan anak itu kemudian, kisah Abdullah menghadapi “bulu-bulu” koleksi Pari di rumah, kisah tentang sikap Parwana (ibu tiri Abdullah) ketika menyambut mereka dan hubungan antara Parwana dan Abdullah. Kisah-kisah tragis seperti inilah yang diharapkan akan muncul untuk menjadi bumbu novel ini. Tapi tidak.
Sama sekali tak ada cerita dan air mata pembaca tentang keluarga itu kecuali generasi setelahnya. Hal ini terasa timpang dengan penceritaan tentang Pari. Pari tak dapat mengenali masa lalunya, Abdullah satu-satunya tumpuannya, bahkan tempat ia dilahirkan dan bahkan tidak disinggung pula kesedihan Pari setelah perpisahan dengan Abdullah, seolah-olah Pari benar-benar meminum ramuan Div. Pari nyaris lupa segalanya, tidak mengingat apapun, dan begitu mudah dibentuk sebagai karakter tokoh yang tak berdosa oleh penulis.
Cerita dalam novel ini disajikan dengan terpotong-potong. Bercampur aduk angka tahun namun tetap independen setiap tokoh. Sembilan bab untuk menceritakan sembilan garis besar kehidupan tokoh. Pada ujung akhir novel, cerita-cerita itu akan menjelma benang merah yang menjalin sebuah cerita utuh dari awal. Memang, masing-masing bab adalah bab “gemuk” sarat cerita yang terkadang menyimpang dari cerita utama dan bahkan keluar dari judul. Namun justru disitulah warna novel ini : tak pernah ada tokoh utama.
Metode penulisan novel ini mirip sebuah kumpulan biografi tokoh yang akan berakhir pada akhir bab, yang diceritakan dengan metode akuan. Dengan demikian pembaca dimudahkan untuk memahami karakter-karakter tokoh dari pengakuan dan penceritaan tokoh “aku”.
Bagian terbaik yang ada pada novel ini adalah bagian awal, yang menggambarkan kemiskinan keluarga Abdullah. Pada bagian ini digambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat di negara miskin. Kemiskinan yang seolah menjadi garis yang nyaris tak dapat ditentang. Bagian awal inilah bagian yang paling tragis dalam novel ini. Selain itu, pertemuan dan perbincanagan sang ayah dengan Div, adalah perbincangan yang sarat dengan sindiran akan kehidupan dan karakter manusia, keberanian, keikhlasan, dan keterbatasan-keterbatasan manusia dalam kehidupan. Keterbatasan kekuatan, akal, waktu dan keterbatasan yang lain.
Bagian terbaik yang lain adalah bagian tokoh Markos. Ada banyak keunikan pada bab ini, baik keunikan cerita, karakter tokoh, maupun keutuhan cerita. Pada bagian ini karakter tokoh dipersilangkan. Karakter tokoh Markos dan Madelaine adalah cerita yang samar dapat dipahami sebagai karakter yang sama sekalipun mereka tidak memiliki hubungan apapun. Sama-sama ingin lari dari kenyataan, sama-sama ingin keluar dari apapun yang mengungkung dan membatasi. Dan pembaca dipahamkan mengenai hal ini oleh pengakuan tokoh Marcos yang iri setelah membaca kematian Madelaine di koran dan mendapati bahwa wanita itu memiliki kebahagiaan dan kehidupan yang tak seperti ada dalam bayangan dan pengharapannya. Madelaine tetap menjadi seorang artis dan seniman sukses dan telah dapat “lari” dari hal-hal yang mengungkungnya (putrinya yang berwajah buruk). Dan karakter Odie (ibu Marcos) dan Thalia (anak Madelaine)adalah karakter yang sama. mereka adalah orang-orang yang menerima takdirnya dengan kuat, meskipun mereka memiliki kekurangan secara fisik.
Thalia dan Odie adalah tokoh istimewa dalam novel ini. Seorang yang dapat menerima dirinya dengan pasrah. Menerima takdir mereka dengan baik, dengan kuat, sehingga dapat membuat keputusan yang masuk akal pula. Thalia sebagai seorang anak yang cerdas dalam membaca dengan baik karakter ibunya. Sedangkan  Odie ternyata tak dapat dibaca dengan benar oleh tokoh Marcos. Persamaan-persamaan inilah yang mengaitkan tokoh Odie dan Thalia sebagai tokoh yang survive hingga akhir cerita. Gambaran seorang yang kuat menerima takdir meskipun takdir itu gelap, dan mereka dapat  menyelesaikan segalanya dengan tepat.
Bab ini sangat menyentuh, terutama pada hubungan keluarga yang benar-benar harmonis. Perbincangan Marcos dan ibunya setelah Marcos kembali dari Afganistan adalah jawaban yang menyudutkan Marcos atas pencarian dan kepengecutannnya selama ini. Pencarian yang seolah-olah hanya akan ia dapatkan dari petualangan-petualangannya yang tak lain adalah sebagai alasan untuk lari dari kenyataan yang harus dihadapinya. Namun ternyata justru ia dapatkan jawaban itu pada ibunya, yang selama ini ia anggap sebagai “kendala” nya dengan dunia.
Mama menatap mataku. Kemudian dia menambahkan sesendok gula ke cangkirnya, lalu mengaduknya perlahan. “Ini lucu, Marcos, tapi orang-orang biasanya mundur. Mereka mengira menjalani kehidupan berdasarkan keinginan mereka. Padahal sesungguhnya ketakutan merekalah yang mengatur mereka. Apa yang mereka inginkan”
“Aku tak mengerti, Mama.”
“Yah, misalnya kamu. Pergi dari sini. Kehidupan yang kau bangun untuk dirimu sendiri. Kau takut akan terkungkung di sini. Bersamaku. Kau takut aku akan menahanmu. Atau contoh lainnya, Thalia. Dia tetap di sini karena tidak ingin dipandangi lagi.” (hlm. 430)
Dari perbincangan ini, tampaklah bahwa tema besar bab ini adalah manusia dan takdir. Bagaimana keputusan-keputusan yang telah mereka ambil dalam kehidupan, adalah takdir yang tak dapat mereka tentang. Pemahaman Odie tentang upaya Marcos untuk menemukan takdir yang lebih baik sebagaimana Madelaine hanyalah sia-sia karena mereka tidak memahami dan belum menerima kekuatan, ketakutan dan kemampuannya sendiri.
 Novel ini adalah sebuah drama keluarga yang panjang. Namun ciri keluarga tidak tampak pada bagian-bagian lain yang menjadi kisah utama dalam novel ini (kisah Abdullah, Pari dan keluarga besarnya). Justru pada bagian keluarga Marcos inilah gambaran komunikasi, kasih sayang, dan perhatian keluarga muncul. Tokoh-tokoh pada bagian bab yang lain menggambarkan tentang kasih sayang, perhatian dan harmonisasi terbentuk dari orang-orang di luar rumah. Justru pada bagian ini, bagian yang terdiri dari untaian logis perasaan tokoh akuan yang tak mengenal romantisme, tak berpuisi, dan nyaris berbicara tentang hal-hal riil, keunikan dapat sering ditemui meskipun kisah mereka bukan cerita utama dalam novel ini. Keunikan lain pada bagian ini adalah teknik KH menuliskan hitungan saat Thalia dan Marcos mencoba kamera buatan tangan mereka dengan hitungan, bagian ini sangat unik dan tak biasa. Pemampatan biografi perjalanan Marcos di luar rumah, yang ditulis dalam satu adegan rumah, adegan yang melekat kuat dalam dirinya.
 Dan akhir dari bab bagian ini sangat manis, paling manis meskipun pada bab ini ditampilkan tokoh-tokoh berkarakter keras, dingin dan memiliki latar belakang yang cadas. Sedikit saya mengutip bagian akhir yang sangat saya sukai itu : Tetap saja, ibuku berkata, “Ini cantik bukan, Marcos?” Aku berkata kepadanya “Ya, Mama. Ini cantik,” dan ketika sesuatu mulai menganga lebar di hatiku, aku meraih dan menggenggam tangan ibuku. Ini adalah bagian akhir bab yang paling akrab, dekat, dan romantis mengingat hubungan antara Marcos dan ibunya yang berjarak. Ini adalah akhir paling manis dibanding akhir-akhir bab yang lain.
Dan kalau boleh saya menyandingkan kedua pembahasan itu, saya akan menyimpulkan kisah ini sebagai kisah tentang tali persaudaraan yang saling bersilangan. Abdullah kehilangan Pari, saudara kandung satu-satunya yang ia anggap sebagai seorang yang sempurna. Sedangkan Marcos justru menemukan saudara (meski mereka tidak sekandung), Thalia, yang tidak sempurna (karena cacat fisiknya). Dan soal perasaan “kehilangan” atau pula “menemukan” itu, dapatlah kita mengutip kembali kata-kata Div pada Baba Ayub di depan : Jika kau hidup selama aku, kau akan mengerti bahwa kekejaman dan kemuliaan hanyalah nuansa berbeda dari warna yang sama.
Inilah yang merupakan kesimpulan dari novel ini, menurut saya. Sebuah pencarian, sebuah pemahaman, untuk dapat menerima apapun yang hidup berikan kepada kita. Terang dan gelap adalah hal yang perlu dipahami.
Dan Gunung-gunung pun Bergema, memanggil nasib dan suratan manusia. Mengantar manusia menemui takdirnya. Menemukan jawaban atas pertanyaan yang selama ini mereka cari dalam kehidupan. Menaklukkan petualangan yang mereka hadapi demi membayar kebebasan. Demi suara-suara di masa lalu yang menjadi akar kehidupan. Berbahagialah mereka yang dapat merajut kisah utuh hidupnya atas nama keluarga. Atas nama darah yang sama, yang mengalir dalam tubuh. Berbahagialah kita, yang aman tentram di tanah tumpah darah yang tak terusik senjata. Berbahagialah mereka, darah-darah yang tak terpisahkan.
Rumah Ladam, November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar