Kalau diminta membuat daftar kado pernikahan
favorit, aku akan menjadikan jam dinding itu sebagai kado pernikahan kami yang
paling indah. Jam dinding itu berbentuk sederhana, lingkaran tegas warna biru
dan biru muda dengan dasar jam warna putih. Angka jam ditulis tegas. Detik jam
terdengar jelas teratur. Tepat pada menit keenam puluh musik indah mengalun: Fur Ellise.
Aku
ingat kado itu dibungkus kertas warna romantis: ungu muda. Kami membuka kado
itu dengan hati-hati. Tanpa identitas, tanpa ucapan selamat, tak ada satupun
keterangan yang bisa menjadi sumber. Menurutku ini adalah kado yang paling
indah di antara semua kado yang kami terima. Banyak kado-kado yang lebih mahal
dan kami butuhkan. Tapi jam dinding itu memiliki arti penting buatku.
Aku
meminta mas Bimo, suamiku, memasangnya di ruang tidur kami. Tepat di depan
wajah kami ketika bangun di pagi hari. Fur
Ellise yang terdengar setiap jam itu menemani kami sepanjang malam-malam
kami yang indah. Dan ketika bercinta di malam hari, detik-detik jam itu terdengar
sangat jelas. Ketika Fur Ellise melantun,
maka semakin larut pula kami menyimak ritmis harmoninya, yang telah merasuk
pada diri kami. Maka hampir dapat dipastikan, mas Bimo mendekapku semakin erat,
dan semakin bergeloralah percintaan kami. Begitulah, kadang kami tidak sadar
bahwa kami menunggu Fur Ellise itu
berbunyi lagi.
Ketika
malam telah larut dan kami telah usai dalam percintaan, Fur Ellise mengalun semakin keras. Kadang mas Bimo tak dapat
membendung perasaan. Ketika Fur Ellise
berbunyi, meski telah layap-layap tertidur ia akan memelukku erat sampai Fur Ellise usai. Tidakkah itu sebuah
kado yang indah?
Aku
selalu mengajukan kepada mas Bimo agar mengado jam dinding pada setiap undangan
pernikahan yang kami terima. Jam dinding musik dengan nada romantis seperti
yang kami miliki. Namun ia selalu menolak. Selalu ada saja alasannya.
“Apa
menariknya mengado jam dinding, itu bukan kado yang istimewa, sebaiknya benda-benda
yang lebih dibutuhkan…bla bla bla…” masih
banyak lagi alasan yang diutarakannya.
Semua
uraian mas Bimo memang masuk akal. Jawaban-jawaban mas Bimo membuatku harus
melupakan ide mengado jam musik. Meski mas Bimo juga tak memiliki opsi benda
lain sebagai kado, tapi dia tetap menolak jam dinding musik untuk kado
pernikahan. Meski demikian, aku sangat menyukai jam itu. Bagiku jam dinding itu
lebih berharga dari kado manapun.
Ini
adalah tahun ketiga perkawinan kami. Meski belum dikaruniai momongan, namun kami
tak terlalu mempersoalkannya. Kami masih memiliki cinta yang hangat. Kadang aku
tersenyum sendiri ketika Fur Ellise
itu berbunyi pada siang hari. Aku akan teringat percintaan yang selalu
diinginkan oleh setiap pernikahan. Jam dinding Fur Ellise itu telah menjadi sihir dalam kehidupan perkawinan kami.
Betapa jam musik itu telah menjadi elemen penting dalam rumah tangga kami.
*
Kado
itu begitu mengagetkanku. Aku tak tahu saat itu Rani benar-benar serius dengan
ucapannya.
“Apa
yang akan kita beli sebagai kado pernikahan?” tanyaku berangan-angan. Kami
sama-sama mahasiswa tingkat akhir yang sedang menunggu ujian skripsi saat itu. Mata
Rani berkejap menerawang.
“Hmm
jam dinding” katanya mengerling jenaka.
“Jam
dinding?”
“Ya.
Jam dinding musik. Romantis, kan? Kita akan melewati waktu-waktu yang panjang.
Semua dimulai dengan DE-TIK” jawabnya menekan kata akhirnya.
“Musiknya?”
tanyaku menantang.
“Musik
adalah keselarasan harmoni dan emosi. Dalam diri manusia pasti terdapat dua
unsur itu. Dan hidup berrumah tangga sama artinya dengan menyatukan dua unsur
itu dalam diri masing-masing. Jadi dengan waktu-waktu yang bergulir panjang, biarkan
dua unsur itu menyatu dalam satu benda: jam dinding” pungkasnya.
Rani
adalah cinta pertamaku. Kami satu angkatan di kampus. Genap dua tahun terakhir
sebelum lulus, kami berpacaran. Sebenarnya aku ingin menghapus semua kenangan
tentang Rani. Meski semua sudah lama berlalu, namun bagiku tak semudah itu.
Semula
kuanggap cintaku pada Yaya, istriku, dapat menghapus perasaan dan kenanganku
pada Rani. Namun ternyata keberadaan sepotong benda dari Rani mampu menghantui
dan merobohkan bangunan yang telah kutata rapi jauh dalam hati. Jam musik itu
meruntuhkan benteng yang telah kususun detik demi detik selama ini. Bagiku Rani
adalah cinta yang sulit untuk dikelabui atau dilupakan.
Orang
tua Rani tidak merestui hubungan kami. Aku yang saat itu masih pengangguran,
sementara Rani teller bank adalah alasan
paling masuk akal. Rani menjauh dan selalu mencari alasan menolak perhatianku. Ia
bersumpah bahwa tidak ada orang lain di hatinya selain aku. Aku tahu dia ragu. Aku
berusaha meyakinkannya, tapi selalu ada saja pertengkaran yang muncul. Dan aku
harus realistis: cinta saja tak cukup untuk membangun rumah tangga.
Kami
memutuskan break dari komitmen. Dua
tahun break tapi pekerjaan mapan pun
tak kunjung datang padaku. Aku telah mencoba. Aku mulai dengan bekerja sebagai
sales rokok, bekerja paruh waktu dan sebagainya.
Tepat
bulan kelimabelas setelah break,
Silvi, teman karib Rani yang masih sepupuku menelpon agar aku mampir ke
rumahnya. Aku mampir ke rumahnya. Ia menyerahkan undangan. Undangan warna ungu
muda itu disodorkan di atas meja. Dengan gemetar aku menerima undangan itu.
Nama Rani dan calon suaminya tercantum di cover
undangan.
“Dia
saudara jauh Rani dari pihak ibunya. Mereka telah menunggu Rani selama dua
tahun untuk memutuskan ini” kata Silvi menjelaskan.
Aku
merasa masa depan karir dan cintaku terpuruk oleh undangan itu. Tak ada lagi harapanku untuk Rani. Padahal Rani-lah
satu-satunya alasan yang membuatku melakukan semua itu. Mendapat penghidupan
yang lebih baik, dan mendapat restu orang tuanya.
Sebagai
pelampiasan, aku berganti-ganti pekerjaan. Aku pernah menjadi sales obat,
mandor bangunan, guru bahasa Inggris, sampai posisiku saat ini, akuntan publik.
Disanalah aku bertemu Yaya dan menikah.
Yaya
sangat menyukai jam dinding itu. Dia memintaku memasangnya di ruang tidur. Aku
sudah menyarankan untuk tidak memasang jam musik itu di sana. Tapi rupanya ia tergila-gila
pada jam itu. Ia tidak tahu dan aku tidak akan bercerita padanya bahwa jam
dinding itu merusak suasana hatiku. Aku tidak ingin Yaya sakit hati atau
terluka akibat perasaanku. Aku tidak ingin dia tahu.
Aku
merasa bersalah pada Yaya. Perasaan itu menghantuiku setiap kali nada itu
mengalun. Bahkan ketika bercinta dengannya dan musik itu mengalun, ingatanku selalu tertuju pada
Rani. Rambut hitam Rani, senyumnya, aku ingat semuanya. Semakin lama perasaan
bersalahku pada Yaya semakin besar. Maka kueratkan dekapanku ke tubuhnya.
Kuserahkan semua padanya seperti aku menyerahkan diriku pada takdir, bahwa Rani
bukan jodohku. Dan seusai bercinta, rasa bersalah dan berdosa itu makin
membumbung. Kupeluk Yaya lebih erat.
*
Aku
berharap Bimo benar-benar menemukan hatinya. Aku merasa lega menerima kabar
bahagia darinya. Setidaknya perasaan bersalahku padanya telah terbayar meski
mungkin tak pernah tunai.
Silvi
menyampaikan berita itu melalui telepon padaku. Bimo akan melamar seorang gadis
bulan depan. Silvi tahu benar perasaanku pada Bimo hingga saat ini, berikut rasa
bersalah pada Bimo yang belum juga hilang. Aku merasa sangat bersalah ketika
dengan gigih mencoba logis dengan menguraikan kondisi saat itu. Aku ingin ia
melihat jelas dirinya yang masih pengangguran, hanya karena aku tak kuasa
menyampaikan perjodohanku dengan mas Tito yang telah diatur oleh abah. Di luar
pengetahuanku, abah menjodohkanku dengan mas Tito. Hal ini diutarakan abah seusai
wisuda. Tak kuasa aku menolak tawaran abah karena mas Tito masih terhitung keluarga.
Sementara
aku menunggu Bimo mendapat pekerjaan, aku menyampaikan hubunganku dengan Bimo
kepada abah. Pelan-pelan abah mengerti, namun abah ingin agar aku segera menikah.
Menurut abah, mas Tito adalah pilihan tepat untukku. Mobil, rumah, pekerjaan,
garis keturunan yang baik, dan agama yang taat. Mas Tito adalah pilihan yang
tepat untukku menurut abah. Itu pilihan yang sulit. Sementara umurku terus
bertambah, karir Bimo serba belum pasti. Pada akhirnya aku memutuskan menerima
pinangan mas Tito.
Meski
telah lama berlalu, dan aku telah memiliki kehidupan sendiri, namun sulit bagiku
melupakan Bimo. Bahkan ketika aku memiliki cinta yang lain, Alya dan Faya, buah
hatiku dan mas Tito, aku tak mampu mengubah perasaanku pada Bimo.
Aku
menitipkan kado itu pada Silvi. Jam dinding musik warna biru. Dulu aku pernah menyampaikan
romantisme jam dinding musik pada Bimo. Jam musik yang akan mengingatkan pada
waktu-waktu lama dan waktu-waktu sekarang. Betapa simponinya akan membawa kita
pada emosi dan harmoni jiwa manusia.
Aku
tidak ingin mencampuri atau kembali hadir dalam kehidupannya. Aku hanya tak
ingin kenangan yang ada di antara kami mati begitu saja. Dia masih sering
menanyakanku pada Silvi. Itu membuatku semakin merasa bersalah padanya.
Jam dinding warna biru dengan alunan
Fur Ellise. Jam dinding menunjukkan waktu yang terus bergulir
tanpa henti. Sama seperti bentuknya, sebuah lingkaran waktu, kehidupan yang
tidak akan berhenti diurai. Ia ada untuk menggiring manusia pada kurun yang ia
sendiri tak tahu sampai kapan. Sama sepertiku, aku sendiri tak tahu sampai
kapan aku akan menyimpan perasaanku pada Bimo.
*
Tik
tak tik tak…aku berjalan pelan menunjuk waktu yang pasti. Pada menit keenam
puluh, aku menyanyikan nada klasik yang indah: Fur Ellise. Melodi itu menggaung di ruangan kamar ini. Dan suami
istri itu akan menyimaknya dengan hikmat.
Aku
dipasang di kamar tidur pasangan itu. Lelaki itu tampaknya tidak begitu
menyukaiku, karena baginya aku mengingatkannya pada cinta lama yang kandas.
Namun karena istrinya sangat menyukaiku, maka aku dipasang di ruangan ini.
Setiap
kali aku mulai bernyanyi, lelaki itu selalu teringat Rani, cinta lama yang tak
bisa dilupakannya. Lalu ia pun akan mendekap resah istrinya seolah meminta
penguatan pada istrinya bahwa ia mulai lelah mengingati masa lalu itu.
Sebaliknya,
si istri menganggap lagu itu sangat romantis. Suaminya mendekap penuh kepadanya
ketika lagu itu mulai menggema. Ia tidak pernah tahu suaminya memiliki makna
lain terhadap lagu itu. Ia tidak pernah mengetahui dan lelaki itu tidak pernah
menceritakan sesuatupun padanya.
Dari
cerita itulah aku mulai membenci kerja melodisku. Aku adalah penunjuk waktu.
Aku membawa manusia dari masa ke masa, dan mengajarkan pada mereka bahwa waktu terus
berputar dan melaju. Bukan untuk berjalan mundur dan mengenang yang lampau.
Maka aku terus melaju sesuai fungsiku. Aku berjalan pada yang pasti, bukan pada
bayangan lampau yang terus menerus dihindari. Aku menolak menjadi simbol dari
sayatan-sayatan sendu yang dihadirkan oleh waktu lalu.
*
“Kok
jamnya ga bunyi ya, mas?” tanya perempuan itu.
“Oya?
mungkin baterainya harus diganti” jawab si lelaki sambil terus membaca.
“Baru
bulan lalu diganti. Tolong dicek dong, mas. Siapa tahu ada yang rusak”
“Kan
jarum jamnya masih berputar?” Lelaki itu bangkit memperbaiki. Ia membuka mesin
jam bagian belakang.
“Tak
ada yang rusak. Ditunggu saja, mungkin nanti akan berbunyi lagi. Lagian, jam
itu sudah tiga tahun lebih” kata lelaki itu sambil memasang kembali jam itu ke
dinding.
Jam
itu tetap berdetak memutar. Mengisi waktu demi waktu yang berlalu dalam
perkawinan itu. Tak ada lagi melodi yang dinyanyikan, selain detak-detak
detiknya.
Dicatat oleh Tabloid Cempaka, Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar