Kamis, 16 Januari 2014

Jam Dinding Pernikahan



Kalau diminta membuat daftar kado pernikahan favorit, aku akan menjadikan jam dinding itu sebagai kado pernikahan kami yang paling indah. Jam dinding itu berbentuk sederhana, lingkaran tegas warna biru dan biru muda dengan dasar jam warna putih. Angka jam ditulis tegas. Detik jam terdengar jelas teratur. Tepat pada menit keenam puluh musik indah mengalun: Fur Ellise.
            Aku ingat kado itu dibungkus kertas warna romantis: ungu muda. Kami membuka kado itu dengan hati-hati. Tanpa identitas, tanpa ucapan selamat, tak ada satupun keterangan yang bisa menjadi sumber. Menurutku ini adalah kado yang paling indah di antara semua kado yang kami terima. Banyak kado-kado yang lebih mahal dan kami butuhkan. Tapi jam dinding itu memiliki arti penting buatku.
            Aku meminta mas Bimo, suamiku, memasangnya di ruang tidur kami. Tepat di depan wajah kami ketika bangun di pagi hari. Fur Ellise yang terdengar setiap jam itu menemani kami sepanjang malam-malam kami yang indah. Dan ketika bercinta di malam hari, detik-detik jam itu terdengar sangat jelas. Ketika Fur Ellise melantun, maka semakin larut pula kami menyimak ritmis harmoninya, yang telah merasuk pada diri kami. Maka hampir dapat dipastikan, mas Bimo mendekapku semakin erat, dan semakin bergeloralah percintaan kami. Begitulah, kadang kami tidak sadar bahwa kami menunggu Fur Ellise itu berbunyi lagi.
            Ketika malam telah larut dan kami telah usai dalam percintaan, Fur Ellise mengalun semakin keras. Kadang mas Bimo tak dapat membendung perasaan. Ketika Fur Ellise berbunyi, meski telah layap-layap tertidur ia akan memelukku erat sampai Fur Ellise usai. Tidakkah itu sebuah kado yang indah?
            Aku selalu mengajukan kepada mas Bimo agar mengado jam dinding pada setiap undangan pernikahan yang kami terima. Jam dinding musik dengan nada romantis seperti yang kami miliki. Namun ia selalu menolak. Selalu ada saja alasannya.
            “Apa menariknya mengado jam dinding, itu bukan kado yang istimewa, sebaiknya benda-benda yang lebih dibutuhkan…bla bla bla… masih banyak lagi alasan yang diutarakannya.
            Semua uraian mas Bimo memang masuk akal. Jawaban-jawaban mas Bimo membuatku harus melupakan ide mengado jam musik. Meski mas Bimo juga tak memiliki opsi benda lain sebagai kado, tapi dia tetap menolak jam dinding musik untuk kado pernikahan. Meski demikian, aku sangat menyukai jam itu. Bagiku jam dinding itu lebih berharga dari kado manapun.
            Ini adalah tahun ketiga perkawinan kami. Meski belum dikaruniai momongan, namun kami tak terlalu mempersoalkannya. Kami masih memiliki cinta yang hangat. Kadang aku tersenyum sendiri ketika Fur Ellise itu berbunyi pada siang hari. Aku akan teringat percintaan yang selalu diinginkan oleh setiap pernikahan. Jam dinding Fur Ellise itu telah menjadi sihir dalam kehidupan perkawinan kami. Betapa jam musik itu telah menjadi elemen penting dalam rumah tangga kami.

*

            Kado itu begitu mengagetkanku. Aku tak tahu saat itu Rani benar-benar serius dengan ucapannya.
            “Apa yang akan kita beli sebagai kado pernikahan?” tanyaku berangan-angan. Kami sama-sama mahasiswa tingkat akhir yang sedang menunggu ujian skripsi saat itu. Mata Rani berkejap menerawang.
            “Hmm jam dinding” katanya mengerling jenaka.
            “Jam dinding?”
            “Ya. Jam dinding musik. Romantis, kan? Kita akan melewati waktu-waktu yang panjang. Semua dimulai dengan DE-TIK” jawabnya menekan kata akhirnya.
            “Musiknya?” tanyaku menantang.
            “Musik adalah keselarasan harmoni dan emosi. Dalam diri manusia pasti terdapat dua unsur itu. Dan hidup berrumah tangga sama artinya dengan menyatukan dua unsur itu dalam diri masing-masing. Jadi dengan waktu-waktu yang bergulir panjang, biarkan dua unsur itu menyatu dalam satu benda: jam dinding” pungkasnya.
            Rani adalah cinta pertamaku. Kami satu angkatan di kampus. Genap dua tahun terakhir sebelum lulus, kami berpacaran. Sebenarnya aku ingin menghapus semua kenangan tentang Rani. Meski semua sudah lama berlalu, namun bagiku tak semudah itu.
            Semula kuanggap cintaku pada Yaya, istriku, dapat menghapus perasaan dan kenanganku pada Rani. Namun ternyata keberadaan sepotong benda dari Rani mampu menghantui dan merobohkan bangunan yang telah kutata rapi jauh dalam hati. Jam musik itu meruntuhkan benteng yang telah kususun detik demi detik selama ini. Bagiku Rani adalah cinta yang sulit untuk dikelabui atau dilupakan.
            Orang tua Rani tidak merestui hubungan kami. Aku yang saat itu masih pengangguran, sementara Rani teller bank adalah alasan paling masuk akal. Rani menjauh dan selalu mencari alasan menolak perhatianku. Ia bersumpah bahwa tidak ada orang lain di hatinya selain aku. Aku tahu dia ragu. Aku berusaha meyakinkannya, tapi selalu ada saja pertengkaran yang muncul. Dan aku harus realistis: cinta saja tak cukup untuk membangun rumah tangga.
            Kami memutuskan break dari komitmen. Dua tahun break tapi pekerjaan mapan pun tak kunjung datang padaku. Aku telah mencoba. Aku mulai dengan bekerja sebagai sales rokok, bekerja paruh waktu dan sebagainya.
            Tepat bulan kelimabelas setelah break, Silvi, teman karib Rani yang masih sepupuku menelpon agar aku mampir ke rumahnya. Aku mampir ke rumahnya. Ia menyerahkan undangan. Undangan warna ungu muda itu disodorkan di atas meja. Dengan gemetar aku menerima undangan itu. Nama Rani dan calon suaminya tercantum di cover undangan.
            “Dia saudara jauh Rani dari pihak ibunya. Mereka telah menunggu Rani selama dua tahun untuk memutuskan ini” kata Silvi menjelaskan.
            Aku merasa masa depan karir dan cintaku terpuruk oleh undangan itu.  Tak ada lagi harapanku untuk Rani. Padahal Rani-lah satu-satunya alasan yang membuatku melakukan semua itu. Mendapat penghidupan yang lebih baik, dan mendapat restu orang tuanya.
            Sebagai pelampiasan, aku berganti-ganti pekerjaan. Aku pernah menjadi sales obat, mandor bangunan, guru bahasa Inggris, sampai posisiku saat ini, akuntan publik. Disanalah aku bertemu Yaya dan menikah.
            Yaya sangat menyukai jam dinding itu. Dia memintaku memasangnya di ruang tidur. Aku sudah menyarankan untuk tidak memasang jam musik itu di sana. Tapi rupanya ia tergila-gila pada jam itu. Ia tidak tahu dan aku tidak akan bercerita padanya bahwa jam dinding itu merusak suasana hatiku. Aku tidak ingin Yaya sakit hati atau terluka akibat perasaanku. Aku tidak ingin dia tahu.
            Aku merasa bersalah pada Yaya. Perasaan itu menghantuiku setiap kali nada itu mengalun. Bahkan ketika bercinta dengannya dan musik  itu mengalun, ingatanku selalu tertuju pada Rani. Rambut hitam Rani, senyumnya, aku ingat semuanya. Semakin lama perasaan bersalahku pada Yaya semakin besar. Maka kueratkan dekapanku ke tubuhnya. Kuserahkan semua padanya seperti aku menyerahkan diriku pada takdir, bahwa Rani bukan jodohku. Dan seusai bercinta, rasa bersalah dan berdosa itu makin membumbung. Kupeluk Yaya lebih erat.

*

            Aku berharap Bimo benar-benar menemukan hatinya. Aku merasa lega menerima kabar bahagia darinya. Setidaknya perasaan bersalahku padanya telah terbayar meski mungkin tak pernah tunai.
            Silvi menyampaikan berita itu melalui telepon padaku. Bimo akan melamar seorang gadis bulan depan. Silvi tahu benar perasaanku pada Bimo hingga saat ini, berikut rasa bersalah pada Bimo yang belum juga hilang. Aku merasa sangat bersalah ketika dengan gigih mencoba logis dengan menguraikan kondisi saat itu. Aku ingin ia melihat jelas dirinya yang masih pengangguran, hanya karena aku tak kuasa menyampaikan perjodohanku dengan mas Tito yang telah diatur oleh abah. Di luar pengetahuanku, abah menjodohkanku dengan mas Tito. Hal ini diutarakan abah seusai wisuda. Tak kuasa aku menolak tawaran abah karena mas Tito masih terhitung keluarga.
            Sementara aku menunggu Bimo mendapat pekerjaan, aku menyampaikan hubunganku dengan Bimo kepada abah. Pelan-pelan abah mengerti, namun abah ingin agar aku segera menikah. Menurut abah, mas Tito adalah pilihan tepat untukku. Mobil, rumah, pekerjaan, garis keturunan yang baik, dan agama yang taat. Mas Tito adalah pilihan yang tepat untukku menurut abah. Itu pilihan yang sulit. Sementara umurku terus bertambah, karir Bimo serba belum pasti. Pada akhirnya aku memutuskan menerima pinangan mas Tito.
            Meski telah lama berlalu, dan aku telah memiliki kehidupan sendiri, namun sulit bagiku melupakan Bimo. Bahkan ketika aku memiliki cinta yang lain, Alya dan Faya, buah hatiku dan mas Tito, aku tak mampu mengubah perasaanku pada Bimo.
            Aku menitipkan kado itu pada Silvi. Jam dinding musik warna biru. Dulu aku pernah menyampaikan romantisme jam dinding musik pada Bimo. Jam musik yang akan mengingatkan pada waktu-waktu lama dan waktu-waktu sekarang. Betapa simponinya akan membawa kita pada emosi dan harmoni jiwa manusia.
            Aku tidak ingin mencampuri atau kembali hadir dalam kehidupannya. Aku hanya tak ingin kenangan yang ada di antara kami mati begitu saja. Dia masih sering menanyakanku pada Silvi. Itu membuatku semakin merasa bersalah padanya.
            Jam dinding warna biru dengan alunan Fur Ellise. Jam dinding menunjukkan waktu yang terus bergulir tanpa henti. Sama seperti bentuknya, sebuah lingkaran waktu, kehidupan yang tidak akan berhenti diurai. Ia ada untuk menggiring manusia pada kurun yang ia sendiri tak tahu sampai kapan. Sama sepertiku, aku sendiri tak tahu sampai kapan aku akan menyimpan perasaanku pada Bimo.

*

            Tik tak tik tak…aku berjalan pelan menunjuk waktu yang pasti. Pada menit keenam puluh, aku menyanyikan nada klasik yang indah: Fur Ellise. Melodi itu menggaung di ruangan kamar ini. Dan suami istri itu akan menyimaknya dengan hikmat.
            Aku dipasang di kamar tidur pasangan itu. Lelaki itu tampaknya tidak begitu menyukaiku, karena baginya aku mengingatkannya pada cinta lama yang kandas. Namun karena istrinya sangat menyukaiku, maka aku dipasang di ruangan ini.
            Setiap kali aku mulai bernyanyi, lelaki itu selalu teringat Rani, cinta lama yang tak bisa dilupakannya. Lalu ia pun akan mendekap resah istrinya seolah meminta penguatan pada istrinya bahwa ia mulai lelah mengingati masa lalu itu.
            Sebaliknya, si istri menganggap lagu itu sangat romantis. Suaminya mendekap penuh kepadanya ketika lagu itu mulai menggema. Ia tidak pernah tahu suaminya memiliki makna lain terhadap lagu itu. Ia tidak pernah mengetahui dan lelaki itu tidak pernah menceritakan sesuatupun padanya.
            Dari cerita itulah aku mulai membenci kerja melodisku. Aku adalah penunjuk waktu. Aku membawa manusia dari masa ke masa, dan mengajarkan pada mereka bahwa waktu terus berputar dan melaju. Bukan untuk berjalan mundur dan mengenang yang lampau. Maka aku terus melaju sesuai fungsiku. Aku berjalan pada yang pasti, bukan pada bayangan lampau yang terus menerus dihindari. Aku menolak menjadi simbol dari sayatan-sayatan sendu yang dihadirkan oleh waktu lalu.

*

            “Kok jamnya ga bunyi ya, mas?” tanya perempuan itu.
            “Oya? mungkin baterainya harus diganti” jawab si lelaki sambil terus membaca.
            “Baru bulan lalu diganti. Tolong dicek dong, mas. Siapa tahu ada yang rusak”
            “Kan jarum jamnya masih berputar?” Lelaki itu bangkit memperbaiki. Ia membuka mesin jam bagian belakang.
            “Tak ada yang rusak. Ditunggu saja, mungkin nanti akan berbunyi lagi. Lagian, jam itu sudah tiga tahun lebih” kata lelaki itu sambil memasang kembali jam itu ke dinding.
            Jam itu tetap berdetak memutar. Mengisi waktu demi waktu yang berlalu dalam perkawinan itu. Tak ada lagi melodi yang dinyanyikan, selain detak-detak detiknya.

Dicatat oleh Tabloid Cempaka, Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar