Aku
bermimpi menjadi seekor kupu-kupu. Kupu-kupu yang terbang di taman belakang.
Warnaku padanan merah jambu, biru muda dengan lingkaran hitam di bagian bawah. Di
tepi sayapku ada garis hitam tegas. Aku tidak suka garis hitam itu. Juga pada
lingkaran hitam itu. Ia seperti eye liner
mama. Ketika mengenakan eye liner,
mata mama akan tampak galak ketika membelalak. Mama memang suka membelalakkan
matanya padaku, terutama ketika aku minta pergi ke taman. Aku suka pergi ke
taman belakang dan menikmati berbagai macam bunga yang ada di sana. Tapi mama
melarangku ke taman itu meskipun aku hanya akan duduk menikmati kupu-kupu di
taman itu, atau sekedar menikmati suara kolam buatan di pojok taman. Mama
melarangku. Aku dianggapnya mengganggu ketika teman-temannya datang untuk
arisan atau sekedar main kartu dan aku dalam keadaan kotor bekas menggali-gali
tanah di taman.
Aku
takut lingkaran bola mata mama. Aku merasa lingkaran hitam itu seperti bola
dunia yang hendak dilempar tepat ke mataku. Kelereng hitam yang memancarkan api
kemarahan. Aku merasa ngeri melihatnya. Aku bergidik mengingatnya. Aku tidak
suka lingkaran hitam itu. Dan seperti tahu apa yang kutakuti, semakin hari mama
semakin menebalkan lingkaran hitam itu dengan eye liner. Aku tidak suka dan aku ngeri melihatnya. Aku tidak suka
bulu-bulu mata palsu mama yang bergerak naik turun ketika ia berbicara padaku.
Aku tidak suka garis hitam itu. Aku tidak suka lingkaran hitam itu.
Aku
bermimpi menjadi seekor kupu-kupu. Sayapku berwarna warni. Warna-warna yang ceria,
kecuali warna dan lingkaran hitam itu. Aku sudah berusaha menghilangkan garis
hitam yang ada di sayapku. Seperti halnya peri, jari-jari tanganku lentik
sekali. Begitu mungil. Bahkan kakiku pun sangat mungil. Aku ingin menghilangkan
lingkaran yang ada di sayapku. Aku tak bisa mengandalkan kaki dan tanganku untuk
mengibaskan warna hitam pada sayapku yang beludru itu. Aku punya ide, aku harus
terbang dengan kecepatan tinggi. Mungkin dengan kecepatan tinggi, lingkaran itu
bisa hilang. Aku pun terbang kesana kemari dengan lincah. Aku terbang dengan
berbagai macam cara, terbang lurus melompat, terbang tinggi lalu memantul,
bahkan terbang salto ke belakang. Sekali aku terbang ke belakang, aku limbung
dan terjengkang. Aku terseok jatuh di atas kelopak bunga. Namun lingkaran hitam
itu tak juga hilang.
Setelah
letih terbang ke sana kemari tanpa hasil, akhirnya aku pun mendapat ide lain. Aku
segera menuju kolam. Ya, ada kolam dengan air terjun kecil di pojok taman.
Kolam yang airnya mengucur dengan menggunakan aliran listrik dengan daya
rendah. Meski kecil, namun untuk ukuran serangga sepertiku, ternyata air itu
berputar cukup deras. Segera aku menuju ke kolam itu dan “mencuci” sayapku di
sana. Mungkin dengan begitu garis dan lingkaran hitam itu akan hilang.
Aku
membelakangi aliran deras itu dengan berlahan agar sayapku tak terseret aliran
yang deras itu. Angin kecil berembus dari belakang. Angin kecil yang sejuk, yang
membuatku merasa nyaman. Ketika berjalan ke belakang mendekat ke arus air dengan
perlahan, aku melihat sepasang mata mama di dasar kolam. Aku bergidik seketika.
Lingkaran hitam dengan bulu-bulu palsu yang bergerak di antara kucuran air. Bayangan
bola mata itu mengintaiku penuh teror. Aku pun segera terbang dengan kecepatan
tinggi, menjauh dari lingkaran mata itu. Namun ketika aku melesat bergerak,
mata itu mengikutiku. Kuabaikan kolam itu. Kuhapus niatku menghilangkan lingkaran
di sayapku. Aku pergi sejauh-jauhnya dari kolam. Tapi lingkaran hitam dengan
dasar biru itu terus memburu ingatanku. Berkali-kali aku menengok ke belakang,
kalau-kalau mata hitam itu mengikutiku.
Aku
terbang memutari taman. Taman itu tak begitu luas, sebenarnya. Namun di taman
itu banyak sekali tanaman dan bunga. Aku suka sekali bunga-bunga itu. Biasanya
mama tak membolehkanku berlama-lama di taman itu. Aku hanya boleh ada di taman
itu dari pagi sejak ayah pergi ke kantor hingga pukul sembilan pagi. Pukul
sembilan pagi mama akan membawaku masuk ke rumah sambil mengomel panjang. Tapi di
mimpiku, aku bisa bermain sepuas hati. Aku mengisap bunga-bunga itu layaknya
aku mengisap permen. Bunga yang berwarna-warni itu sangat manis. Aku pun tiba
di bunga pukul empat di pinggiran taman. Bunga kecubung kecil warna merah muda.
Bunga itu sudah menguncup. Aku tidak suka bunga ini. Warnanya mencolok seperti lipstik
mama, dan tangkai bunganya panjang seperti leher mama ketika mengomel panjang
seharian. Dan biji-biji hitam bunga ini sama persis seperti bola mata mama.
Aku
berlari sejauh mungkin dari bunga ini. Aku tak mau mengambil resiko dari rasa
ngeri yang ditimbulkan bayangan lingkaran hitam itu. Aku terbang menjauh. Namun
ada yang menarik-narik sayapku, ada yang mencencang kaki dan tanganku. Aku
melongok ke belakang. Ternyata bunga itu membuka, dan putik kecubung kecil itu
yang mencengkeram kaki dan sayapku. Aku terbang sekuat tenaga. Putik itu
menjulur keluar dari tangkai panjangnya. Aku melolong panik. Sayapku kritis.
Aku terbang sempoyongan. Kaki dan tanganku ditarik masuk oleh si bunga. Aku tak
kuat lagi. Aku ditarik ke dalam rongga
bunga. Kelopak bunga itu menelanku. Menelan tubuhku lalu kembali mengatup.
Sayapku koyak. Serbuk-serbuk sayap masuk ke mata. Mataku klilipan dan susah
terbuka. Mataku berair dan mulai gatal. Aku memejamkan mata kuat-kuat. Aku tak
ingin melihat apa yang ada di depanku. Aku menjerit kuat-kuat. Dan
…aaaargghhh….
Aku
berusaha membuka mata namun silau cahaya membuat mataku berkejap tak kuat
menahannya. Badanku diguncang-guncang
kasar. Aku tahu itu tangan mama. Tangan berkuku panjang dengan kutek
warna-warni. Kuku yang kadang menggores pipiku, atau tanganku, atau pula
kakiku, ketika aku menginginkan sesuatu. Ia akan membelalakkan matanya sambil
mengomel panjang, melarangku melakukan ini itu dan menjabarkan sejumlah aturan.
Aku
pun membuka mataku dengan berat. Ternyata aku ketiduran di taman dan bermimpi menjadi kupu-kupu, lalu ditelan si kecubung
warna magenta. Sekarang aku harus bangun dan menyimak omelan si lipstik merah
muda ini. Kuteknya warna merah darah hari ini. Ia menepuk pipiku dengan kasar. Itu
caranya membangunkanku. Aku duduk dan sekarang wajahnya mendekat ke wajahku. Aku
sudah hafal apa yang akan terjadi. Inilah yang paling aku takutkan. Matanya
akan membelalak-belalak sebentar lagi dan mulutnya akan mengomel panjang. Aku
bersiap memejamkan mata dan menutup telinga dengan dua tangan. Aaarrghhh…teriakku ketika aku merasa
terganggu. Suaraku berat, namun ia semakin mendelik menatapku.
“Siapa
suruh tidur di luar? Dasar anak idiot! Masuk sana! Jangan pernah keluar dari
kamar!” katanya sambil menggelandangku ke kamar. Ditariknya kerah bajuku. Aku
meronta-ronta. Aku tak mau masuk kamar. Aku tak mau dikurung. Aku ingin
menikmati taman. Aku ingin duduk-duduk di taman menyimak gemericik air di kolam
buatan. Aku ingin melihat kupu-kupu. Aku ingin menggali tanah dan menanam. Tapi
tubuhku terlalu lemah untuk melawan. Aku berteriak dengan suaraku yang
terdengar aneh. Diseretnya aku ke dalam kamar dan dikuncinya pintu dari luar.
Ia mendelik sebelum berlalu dari hadapanku.
“Maaaa…maaaaa!!!
Teriakku sebisaku. Gagu. Suaraku sengau tak jelas.
“Aku
bukan ibumu!” teriaknya lagi.
“Mbuuuu…mbuuuu”
aku menangis keras menggedor-gedor pintu memanggil ibu. Ibu tak pernah berbuat
kasar padaku. Rasanya sudah lama aku tak melihat ibu. Sudah lama aku tak
membantu ibu menanam bunga di taman. Kemana ibuku? Mengapa ibu pergi lama
sekali? Mengapa ibu pergi tanpa pamit padaku?
“Ibumu
sudah di surga!” jawab perempuan itu sambil berlalu.
Ia membiarkanku berteriak-teriak dan menggedor
pintu. Aku tak tahu siapa perempuan itu. Ayah mengenalkanku padanya dan
menyuruhku memanggilnya mama. Aku tak tahu kenapa ia tak mau kupanggil mama. Dia ada di rumahku beberapa waktu ini.
Ia berciuman dengan ayahku ketika kami makan malam dan sarapan. Setelah ayah
berangkat ke kantor, ia akan mengurungku di kamar dan ia akan main kartu
bersama teman-temannya di halaman. Sesekali dibiarkannya aku bermain di taman.
Itu terjadi pada hari Minggu ketika ayah di rumah. Ketika hari Minggu
teman-temannya tak ada yang datang bermain kartu, ia akan menghabiskan waktu di
taman bersamaku.
Surakarta, April 2013
Dicatat oleh Harian
Joglosemar, Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar