Kamis, 16 Januari 2014

Lingkaran Bola Mata Mama



Aku bermimpi menjadi seekor kupu-kupu. Kupu-kupu yang terbang di taman belakang. Warnaku padanan merah jambu, biru muda dengan lingkaran hitam di bagian bawah. Di tepi sayapku ada garis hitam tegas. Aku tidak suka garis hitam itu. Juga pada lingkaran hitam itu. Ia seperti eye liner mama. Ketika mengenakan eye liner, mata mama akan tampak galak ketika membelalak. Mama memang suka membelalakkan matanya padaku, terutama ketika aku minta pergi ke taman. Aku suka pergi ke taman belakang dan menikmati berbagai macam bunga yang ada di sana. Tapi mama melarangku ke taman itu meskipun aku hanya akan duduk menikmati kupu-kupu di taman itu, atau sekedar menikmati suara kolam buatan di pojok taman. Mama melarangku. Aku dianggapnya mengganggu ketika teman-temannya datang untuk arisan atau sekedar main kartu dan aku dalam keadaan kotor bekas menggali-gali tanah di taman.
Aku takut lingkaran bola mata mama. Aku merasa lingkaran hitam itu seperti bola dunia yang hendak dilempar tepat ke mataku. Kelereng hitam yang memancarkan api kemarahan. Aku merasa ngeri melihatnya. Aku bergidik mengingatnya. Aku tidak suka lingkaran hitam itu. Dan seperti tahu apa yang kutakuti, semakin hari mama semakin menebalkan lingkaran hitam itu dengan eye liner. Aku tidak suka dan aku ngeri melihatnya. Aku tidak suka bulu-bulu mata palsu mama yang bergerak naik turun ketika ia berbicara padaku. Aku tidak suka garis hitam itu. Aku tidak suka lingkaran hitam itu.
Aku bermimpi menjadi seekor kupu-kupu.  Sayapku berwarna warni. Warna-warna yang ceria, kecuali warna dan lingkaran hitam itu. Aku sudah berusaha menghilangkan garis hitam yang ada di sayapku. Seperti halnya peri, jari-jari tanganku lentik sekali. Begitu mungil. Bahkan kakiku pun sangat mungil. Aku ingin menghilangkan lingkaran yang ada di sayapku. Aku tak bisa mengandalkan kaki dan tanganku untuk mengibaskan warna hitam pada sayapku yang beludru itu. Aku punya ide, aku harus terbang dengan kecepatan tinggi. Mungkin dengan kecepatan tinggi, lingkaran itu bisa hilang. Aku pun terbang kesana kemari dengan lincah. Aku terbang dengan berbagai macam cara, terbang lurus melompat, terbang tinggi lalu memantul, bahkan terbang salto ke belakang. Sekali aku terbang ke belakang, aku limbung dan terjengkang. Aku terseok jatuh di atas kelopak bunga. Namun lingkaran hitam itu tak juga hilang.
Setelah letih terbang ke sana kemari tanpa hasil, akhirnya aku pun mendapat ide lain. Aku segera menuju kolam. Ya, ada kolam dengan air terjun kecil di pojok taman. Kolam yang airnya mengucur dengan menggunakan aliran listrik dengan daya rendah. Meski kecil, namun untuk ukuran serangga sepertiku, ternyata air itu berputar cukup deras. Segera aku menuju ke kolam itu dan “mencuci” sayapku di sana. Mungkin dengan begitu garis dan lingkaran hitam itu akan hilang.
Aku membelakangi aliran deras itu dengan berlahan agar sayapku tak terseret aliran yang deras itu. Angin kecil berembus dari belakang. Angin kecil yang sejuk, yang membuatku merasa nyaman. Ketika berjalan ke belakang mendekat ke arus air dengan perlahan, aku melihat sepasang mata mama di dasar kolam. Aku bergidik seketika. Lingkaran hitam dengan bulu-bulu palsu yang bergerak di antara kucuran air. Bayangan bola mata itu mengintaiku penuh teror. Aku pun segera terbang dengan kecepatan tinggi, menjauh dari lingkaran mata itu. Namun ketika aku melesat bergerak, mata itu mengikutiku. Kuabaikan kolam itu. Kuhapus niatku menghilangkan lingkaran di sayapku. Aku pergi sejauh-jauhnya dari kolam. Tapi lingkaran hitam dengan dasar biru itu terus memburu ingatanku. Berkali-kali aku menengok ke belakang, kalau-kalau mata hitam itu mengikutiku.
Aku terbang memutari taman. Taman itu tak begitu luas, sebenarnya. Namun di taman itu banyak sekali tanaman dan bunga. Aku suka sekali bunga-bunga itu. Biasanya mama tak membolehkanku berlama-lama di taman itu. Aku hanya boleh ada di taman itu dari pagi sejak ayah pergi ke kantor hingga pukul sembilan pagi. Pukul sembilan pagi mama akan membawaku masuk ke rumah sambil mengomel panjang. Tapi di mimpiku, aku bisa bermain sepuas hati. Aku mengisap bunga-bunga itu layaknya aku mengisap permen. Bunga yang berwarna-warni itu sangat manis. Aku pun tiba di bunga pukul empat di pinggiran taman. Bunga kecubung kecil warna merah muda. Bunga itu sudah menguncup. Aku tidak suka bunga ini. Warnanya mencolok seperti lipstik mama, dan tangkai bunganya panjang seperti leher mama ketika mengomel panjang seharian. Dan biji-biji hitam bunga ini sama persis seperti bola mata mama.
Aku berlari sejauh mungkin dari bunga ini. Aku tak mau mengambil resiko dari rasa ngeri yang ditimbulkan bayangan lingkaran hitam itu. Aku terbang menjauh. Namun ada yang menarik-narik sayapku, ada yang mencencang kaki dan tanganku. Aku melongok ke belakang. Ternyata bunga itu membuka, dan putik kecubung kecil itu yang mencengkeram kaki dan sayapku. Aku terbang sekuat tenaga. Putik itu menjulur keluar dari tangkai panjangnya. Aku melolong panik. Sayapku kritis. Aku terbang sempoyongan. Kaki dan tanganku ditarik masuk oleh si bunga. Aku tak kuat lagi. Aku ditarik  ke dalam rongga bunga. Kelopak bunga itu menelanku. Menelan tubuhku lalu kembali mengatup. Sayapku koyak. Serbuk-serbuk sayap masuk ke mata. Mataku klilipan dan susah terbuka. Mataku berair dan mulai gatal. Aku memejamkan mata kuat-kuat. Aku tak ingin melihat apa yang ada di depanku. Aku menjerit kuat-kuat. Dan …aaaargghhh….
Aku berusaha membuka mata namun silau cahaya membuat mataku berkejap tak kuat menahannya.  Badanku diguncang-guncang kasar. Aku tahu itu tangan mama. Tangan berkuku panjang dengan kutek warna-warni. Kuku yang kadang menggores pipiku, atau tanganku, atau pula kakiku, ketika aku menginginkan sesuatu. Ia akan membelalakkan matanya sambil mengomel panjang, melarangku melakukan ini itu dan menjabarkan sejumlah aturan.
Aku pun membuka mataku dengan berat. Ternyata aku ketiduran di taman dan  bermimpi menjadi kupu-kupu, lalu ditelan si kecubung warna magenta. Sekarang aku harus bangun dan menyimak omelan si lipstik merah muda ini. Kuteknya warna merah darah hari ini. Ia menepuk pipiku dengan kasar. Itu caranya membangunkanku. Aku duduk dan sekarang wajahnya mendekat ke wajahku. Aku sudah hafal apa yang akan terjadi. Inilah yang paling aku takutkan. Matanya akan membelalak-belalak sebentar lagi dan mulutnya akan mengomel panjang. Aku bersiap memejamkan mata dan menutup telinga dengan dua tangan. Aaarrghhh…teriakku ketika aku merasa terganggu. Suaraku berat, namun ia semakin mendelik menatapku.
“Siapa suruh tidur di luar? Dasar anak idiot! Masuk sana! Jangan pernah keluar dari kamar!” katanya sambil menggelandangku ke kamar. Ditariknya kerah bajuku. Aku meronta-ronta. Aku tak mau masuk kamar. Aku tak mau dikurung. Aku ingin menikmati taman. Aku ingin duduk-duduk di taman menyimak gemericik air di kolam buatan. Aku ingin melihat kupu-kupu. Aku ingin menggali tanah dan menanam. Tapi tubuhku terlalu lemah untuk melawan. Aku berteriak dengan suaraku yang terdengar aneh. Diseretnya aku ke dalam kamar dan dikuncinya pintu dari luar. Ia mendelik sebelum berlalu dari hadapanku.
“Maaaa…maaaaa!!! Teriakku sebisaku. Gagu. Suaraku sengau tak jelas.
“Aku bukan ibumu!” teriaknya lagi.
“Mbuuuu…mbuuuu” aku menangis keras menggedor-gedor pintu memanggil ibu. Ibu tak pernah berbuat kasar padaku. Rasanya sudah lama aku tak melihat ibu. Sudah lama aku tak membantu ibu menanam bunga di taman. Kemana ibuku? Mengapa ibu pergi lama sekali? Mengapa ibu pergi tanpa pamit padaku?
“Ibumu sudah di surga!” jawab perempuan itu sambil berlalu.
Ia  membiarkanku berteriak-teriak dan menggedor pintu. Aku tak tahu siapa perempuan itu. Ayah mengenalkanku padanya dan menyuruhku memanggilnya mama. Aku tak tahu kenapa ia tak mau kupanggil  mama. Dia ada di rumahku beberapa waktu ini. Ia berciuman dengan ayahku ketika kami makan malam dan sarapan. Setelah ayah berangkat ke kantor, ia akan mengurungku di kamar dan ia akan main kartu bersama teman-temannya di halaman. Sesekali dibiarkannya aku bermain di taman. Itu terjadi pada hari Minggu ketika ayah di rumah. Ketika hari Minggu teman-temannya tak ada yang datang bermain kartu, ia akan menghabiskan waktu di taman bersamaku.
Surakarta, April 2013
Dicatat oleh Harian Joglosemar, Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar