Jumat, 17 Januari 2014

Tembang Luka Kesatria Kurusetra



Bisma. Kesatria tua itu mengembuskan nafas dalam-dalam. Dipandanginya busur dan anak panah di tangannya. Termangu ia menatap ujung-ujung anak panah yang telah ia asah dengan mantra dan kidung-kidung yang telah ia hafal. Sekali lagi ia mengusap anak panah itu. Lelaki tua itu tak dapat lagi menghitung ratusan atau bahkan ribuan pertarungan yang telah ia hadapi. Tak satu cacatpun ia peroleh dari pertarungan-pertarungan itu. Tak sebiji mata panah pun menggores kulitnya. Namun baru kali ini ia bimbang. Tak pernah ia merasa sedekat ini dengan kematian.
            Meski usianya makin menyusut, tak pernah ia menyurutkan langkah dari pertarungan. Ia hadapi pertempuran demi pertempuran tanpa gentar. Namun kali ini degub kematian terasa dekat di ujung nadinya. Bukan perang besar ini yang membuatnya gemetar, bukan pula kematian yang membuatnya takut. Esensi perang inilah yang ia tangguhkan. Pertarungan sedarah dicatat sebagai tabu bagi para ksatria. Lelaki tua itu  merasa tak kuasa meredam api keduanya, ia merasa tak mampu menjaga bara ksatria yang bergolak dalam darah-darah muda anak cucunya. Dan ia tak tahu apakah ia akan memilih untuk mati di perang tabu ini. Rasa lemah dan ketidakmampuan membumbung tinggi di kepala tuanya. Sesekali ia embuskan nafas berlahan demi menenangkan gusar. Sesekali bibirnya merapal kidung kasih pada para dewata untuk menghentikan perang besar ini.

****

            Aku masih ingat bagaimana langkah-langkah kecil mereka menapaki gelanggang ketika pertama kali mereka belajar memanah padaku. Aku tidak akan lupa tangan-tangan mungil yang terbata melepaskan anak panah. Dengan mata yang haus senjata ksatria-ksatria mungil itu mulai mencoba sekali, dua kali, tiga kali, berates-ratus kali untuk menjadi pemenang dan menjadi murid nomor satu. Sangat penting bagi mereka mendapatkan perhatian dariku sekalipun mereka tahu, aku menyayangi mereka sama rata, satu dan lainnya tanpa membedakan. Aku ajari mereka tentang apapun yang bisa aku ajarkan.
            Aku juga tidak akan lupa suara-suara polos dan teriakan-teriakan tanpa dosa itu, seperti burung kecil yang menyanyi dan bercericit sepanjang hari, yang membuat seolah matahari semakin bulat bersinar di hadapanku. Pun juga masih kuingat suara tawa dan tangisan yang kerap menjadi sumber kebahagiaan kami, para tetua yang telah lelah memanggul senjata ini, untuk sekedar melepas nafas penat dengan menertawakan kepolosan mereka. Suara-suara kecil mereka seperti oase dari perjalanan panjang kami yang selalu penuh dengan jelaga, asap perang dan senjata, mereka menjadi hiburan sekaligus semangat bagi kami untuk tetap tinggal dan bertahan dari endusan angin perang yang senantiasa menghalau jiwa-jiwa haus kami. Maka aku ajarkan mereka cara mempertahankan diri dari perang dan segala sumber ketidakadilan di bumi ini. Panah, pedang, gada, semua yang aku bisa telah aku ajarkan.
            Aku ingat ketika takjub mataku melihat mereka memiliki sepasang sayap kecil yang seolah-olah tumbuh di punggung mereka ketika serentak mereka menyanyikan kidung darma di kuil kecil di gelanggang. Suara kecil polos mereka menyanyikan kidung puja-puji pada Dewata di senja yang rekah merah. Berkali mata tuaku kuusap demi melihat kebenaran panorama itu, namun tak jua hilang sayap-sayap itu dari punggung mereka hingga kidung itu selesai dinyanyikan. Sejak saat itu aku semakin yakin bahwa mereka adalah kesatria yang sesungguhnya. Kesatria yang kelak akan memimpin dan meneruskan tahta Hastinapura.
            Aku tahu, perang besar ini telah dituliskan. Bahkan sebelum mereka lahir, garis telah ditetapkan. Aku tahu sengketa telah lama ditiupkan dalam ruh mereka jauh sebelum mereka lahir. Sejak semula sengketa ini telah tampak dengan jelas di hadapan kami. Aku tahu, cepat atau lambat perang besar ini pasti terjadi. Aku tahu jumlah dan kekuatan mereka tidak seimbang, Aku tahu semua telah diseratkan dalam kitab-kitab. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku justru menyodorkan senjata dan menyiapkan kuda perang untuk mereka. Kuda perang yang akan menghancurkan segalanya. Aku tahu kehancuran akan  terjadi bila keduanya meneruskan pertempuran ini. Dan aku juga tahu salah satu dari mereka pasti akan binasa  dimangsa api Kurusetra.
            Yang tak kutahu adalah “untuk apa?” Untuk merebut tahta? Untuk mengakui dan menguji kekuatan masing-masing? Untuk menunjukkan senjata yang telah mereka kuasai? Sungguh muda dan dangkal sekali langkah kesatria-kesatria hijau ini. Mereka belum tahu bahwa tahta yang sesungguhnya hanyalah semu dan permainan dunia, bahkan sebagian dari mereka tak pernah tahu dan tak mau tahu silsilah kelahiran mereka sendiri. Seperti halnya dadu yang mereka mainkan sebelumnya, semua akan musnah menjadi hukuman tak terkira. Sanksi yang akan menciderai harga diri dan persaudaraan kerajaan.
            Apa yang mereka lihat dari perang ini? Apa yang mereka harapkan dari kekalahan lawan yang sesungguhnya pula saudara dan darah keluarga mereka sendiri? Tak tahukah mereka bahwa kemuliaan hanyalah untuk orang-orang yang mau merendahkan diri dan mengalahkan kepentingan duniawi? Telah panjang lebar kalam yang aku jabarkan di antara sekian ratus ajaran darma yang telah aku ajarkan pada mereka. Tidakkah mereka paham? Mengapa tidak tertanam dalam diri mereka darma-darma itu? Adakah bibit pengetahuan yang aku semai tidak bertumbuh menjadi pohon? Adakah pohon darma itu tertanam di kedangkalan ilmu, sehingga mati mengeras menjadi batu? Bagaimana mungkin darma sebagai ksatria mereka pahami sebagai tahta yang harus direbut dan diperjuangkan melalui semburan darah? Bagaimana mungkin mereka bisa menikmati kemenangan dengan menanam anak panah dan simbahan darah di tubuh saudara sendiri?
            Tak tahukah mereka bagaimana kami, para generasi tua, guru, kakek, dan orang tua yang telah menurunkan trah yang tak pernah hilang dari aliran darah mereka,selalu mengutamakan kedamaian dan ketentraman sebagai landasan kebahagiaan? Tak pernah aku menyesali keputusanku melepas tahta yang seharusnya menjadi milikku. Tak pernah aku menyesali lepasnya kerajaanku untuk saudaraku. Tak pernah aku mengungkit sedikitpun tentang perang dan pertarungan kepada saudaraku. Lalu apa arti perang ini untuk mereka?
            Ah, aku yakin mereka bukan lagi kesatria-kesatria mungil yang dulu masih terbata-bata bertanya tentang darma. Mereka bukan lagi kanak-kanak yang mengadu tentang ketidakadilan cinta dan kasih kami. Mereka bukan lagi anak-anak manis lucu yang tertawa sambil menangis di pangkuan kami. Mereka telah dewasa dalam tempaan senjata. Dan mereka adalah cermin diri kami, para orang tua, guru, brahma dan apapun sebutan yang pantas untuk kami bagi mereka. Mereka telah menjadi kesatria yang telah paham arti darma bagi kesatria. Mereka tidak hanya menyanyikan kidung darma sebagai tumpuan memanggul senjata. Mereka adalah ksatria yang mencerahkan diri mereka dengan pertempuran-pertempuran yang sebelumnya telah kami ceritakan sebagai simbol kejayaan dan kekuatan kami.
            Rupanya cerita-cerita perang yang kami gulirkan itulah yang menjadikan diri mereka kerdil. Demi sebuah predikat “pahlawan” yang bergulir menempel di pusara mereka kelak, mereka bertarung dan mencacah daging saudara sendiri. Oh Dewata yang Agung, salahkan hamba yang tua dan tak bisa bijaksana ini!!
            Perang ini bukan perang badani, bukan perang melawan ketidakaadilan sebagaimana Kau titahkan dalam DarmaMu. Namun pertarungan ini sesungguhnya hanyalah pertarungan dalam diri mereka sendiri. Sengketa lama yang telah ditiupkan ke dada mereka atas nama tahta. Sungguh hamba tak tahu bagaimana harus mencari kebajikan dari darah yang tertumpah ini.
            Sebesar apapun perang ini, tak ada kemenangan bagi pertarungan yang tidak imbang. Tak ada kekalahan dari pertarungan dengan darah keluarga sendiri selain rasa malu yang menghunjam. Semua menumpah sia-sia ke tanah.
            Esok, mungkin anak-anak panah ini akan melesat jauh di dada para kesatria muda itu. Mungkin juga akan menancap di dada para prajurit yang juga tak paham darma atau pula arti dari perang besar ini. Namun demi darma, aku akan menanggalkan  pucuk panahku ini sebagai puncak kematianku. Tanah ini akan menjadi saksi kematian yang akan kujelang saat perang ini usai. Demi Gangga yang mengalir muaranya di darahku aku bersumpah, pada perang inilah kuserahkan kesempurnaan darmaku sebagai kesatria.

****
           
Di tepi kurusetra yang lain, seorang perempuan muda mengasah mata panah dengan air suci. Di kepalanya tak lagi tersampir kerudung sari. Tak sabar rasanya ia menunggu esok pagi, sebab ia akan menjadi sais kereta pada perang besar yang telah lama ia nantikan. Tak sabar ia melepaskan busur panasnya ke arah kesatria tua yang menjadi legenda pertarungan ini. Ini adalah pertarungan pertamanya, namun ia yakin akan kemenangannya pada perang ini, sebab perang ini akan menjadi peredam perang-perang yang bergelut di dadanya selama ini. Sekali lagi ia telah paham, perang ini bukanlah perang badani. Perang inilah yang akan mengusaikan kemelut di dada para kesatria di  seluruh Kurusetra, termasuk dirinya.
Rumah Ladam, Juni  2012
Dicatat oleh Majalah Sastra Horison, Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar