Bisma. Kesatria tua itu mengembuskan nafas dalam-dalam.
Dipandanginya busur dan anak panah di tangannya. Termangu ia menatap
ujung-ujung anak panah yang telah ia asah dengan mantra dan kidung-kidung yang
telah ia hafal. Sekali lagi ia mengusap anak panah itu. Lelaki tua itu tak
dapat lagi menghitung ratusan atau bahkan ribuan pertarungan yang telah ia
hadapi. Tak satu cacatpun ia peroleh dari pertarungan-pertarungan itu. Tak sebiji
mata panah pun menggores kulitnya. Namun baru kali ini ia bimbang. Tak pernah ia
merasa sedekat ini dengan kematian.
Meski
usianya makin menyusut, tak pernah ia menyurutkan langkah dari pertarungan. Ia
hadapi pertempuran demi pertempuran tanpa gentar. Namun kali ini degub kematian
terasa dekat di ujung nadinya. Bukan perang besar ini yang membuatnya gemetar,
bukan pula kematian yang membuatnya takut. Esensi perang inilah yang ia tangguhkan.
Pertarungan sedarah dicatat sebagai tabu bagi para ksatria. Lelaki tua itu merasa tak kuasa meredam api keduanya, ia merasa
tak mampu menjaga bara ksatria yang bergolak dalam darah-darah muda anak
cucunya. Dan ia tak tahu apakah ia akan memilih untuk mati di perang tabu ini. Rasa
lemah dan ketidakmampuan membumbung tinggi di kepala tuanya. Sesekali ia
embuskan nafas berlahan demi menenangkan gusar. Sesekali bibirnya merapal
kidung kasih pada para dewata untuk menghentikan perang besar ini.
****
Aku
masih ingat bagaimana langkah-langkah kecil mereka menapaki gelanggang ketika
pertama kali mereka belajar memanah padaku. Aku tidak akan lupa tangan-tangan
mungil yang terbata melepaskan anak panah. Dengan mata yang haus senjata ksatria-ksatria
mungil itu mulai mencoba sekali, dua kali, tiga kali, berates-ratus kali untuk
menjadi pemenang dan menjadi murid nomor satu. Sangat penting bagi mereka
mendapatkan perhatian dariku sekalipun mereka tahu, aku menyayangi mereka sama
rata, satu dan lainnya tanpa membedakan. Aku ajari mereka tentang apapun yang
bisa aku ajarkan.
Aku
juga tidak akan lupa suara-suara polos dan teriakan-teriakan tanpa dosa itu, seperti
burung kecil yang menyanyi dan bercericit sepanjang hari, yang membuat seolah matahari
semakin bulat bersinar di hadapanku. Pun juga masih kuingat suara tawa dan
tangisan yang kerap menjadi sumber kebahagiaan kami, para tetua yang telah
lelah memanggul senjata ini, untuk sekedar melepas nafas penat dengan menertawakan
kepolosan mereka. Suara-suara kecil mereka seperti oase dari perjalanan panjang
kami yang selalu penuh dengan jelaga, asap perang dan senjata, mereka menjadi hiburan
sekaligus semangat bagi kami untuk tetap tinggal dan bertahan dari endusan angin
perang yang senantiasa menghalau jiwa-jiwa haus kami. Maka aku ajarkan mereka cara
mempertahankan diri dari perang dan segala sumber ketidakadilan di bumi ini. Panah,
pedang, gada, semua yang aku bisa telah aku ajarkan.
Aku
ingat ketika takjub mataku melihat mereka memiliki sepasang sayap kecil yang
seolah-olah tumbuh di punggung mereka ketika serentak mereka menyanyikan kidung
darma di kuil kecil di gelanggang. Suara kecil polos mereka menyanyikan kidung
puja-puji pada Dewata di senja yang rekah merah. Berkali mata tuaku kuusap demi
melihat kebenaran panorama itu, namun tak jua hilang sayap-sayap itu dari
punggung mereka hingga kidung itu selesai dinyanyikan. Sejak saat itu aku
semakin yakin bahwa mereka adalah kesatria yang sesungguhnya. Kesatria yang
kelak akan memimpin dan meneruskan tahta Hastinapura.
Aku
tahu, perang besar ini telah dituliskan. Bahkan sebelum mereka lahir, garis
telah ditetapkan. Aku tahu sengketa telah lama ditiupkan dalam ruh mereka jauh
sebelum mereka lahir. Sejak semula sengketa ini telah tampak dengan jelas di
hadapan kami. Aku tahu, cepat atau lambat perang besar ini pasti terjadi. Aku
tahu jumlah dan kekuatan mereka tidak seimbang, Aku tahu semua telah diseratkan
dalam kitab-kitab. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku justru menyodorkan
senjata dan menyiapkan kuda perang untuk mereka. Kuda perang yang akan
menghancurkan segalanya. Aku tahu kehancuran akan terjadi bila keduanya meneruskan pertempuran
ini. Dan aku juga tahu salah satu dari mereka pasti akan binasa dimangsa api Kurusetra.
Yang
tak kutahu adalah “untuk apa?” Untuk merebut tahta? Untuk mengakui dan menguji
kekuatan masing-masing? Untuk menunjukkan senjata yang telah mereka kuasai? Sungguh
muda dan dangkal sekali langkah kesatria-kesatria hijau ini. Mereka belum tahu bahwa
tahta yang sesungguhnya hanyalah semu dan permainan dunia, bahkan sebagian dari
mereka tak pernah tahu dan tak mau tahu silsilah kelahiran mereka sendiri.
Seperti halnya dadu yang mereka mainkan sebelumnya, semua akan musnah menjadi
hukuman tak terkira. Sanksi yang akan menciderai harga diri dan persaudaraan
kerajaan.
Apa
yang mereka lihat dari perang ini? Apa yang mereka harapkan dari kekalahan
lawan yang sesungguhnya pula saudara dan darah keluarga mereka sendiri? Tak
tahukah mereka bahwa kemuliaan hanyalah untuk orang-orang yang mau merendahkan
diri dan mengalahkan kepentingan duniawi? Telah panjang lebar kalam yang aku
jabarkan di antara sekian ratus ajaran darma yang telah aku ajarkan pada
mereka. Tidakkah mereka paham? Mengapa tidak tertanam dalam diri mereka darma-darma
itu? Adakah bibit pengetahuan yang aku semai tidak bertumbuh menjadi pohon?
Adakah pohon darma itu tertanam di kedangkalan ilmu, sehingga mati mengeras
menjadi batu? Bagaimana mungkin darma sebagai ksatria mereka pahami sebagai
tahta yang harus direbut dan diperjuangkan melalui semburan darah? Bagaimana
mungkin mereka bisa menikmati kemenangan dengan menanam anak panah dan simbahan
darah di tubuh saudara sendiri?
Tak
tahukah mereka bagaimana kami, para generasi tua, guru, kakek, dan orang tua
yang telah menurunkan trah yang tak
pernah hilang dari aliran darah mereka,selalu mengutamakan kedamaian dan
ketentraman sebagai landasan kebahagiaan? Tak pernah aku menyesali keputusanku
melepas tahta yang seharusnya menjadi milikku. Tak pernah aku menyesali
lepasnya kerajaanku untuk saudaraku. Tak pernah aku mengungkit sedikitpun
tentang perang dan pertarungan kepada saudaraku. Lalu apa arti perang ini untuk
mereka?
Ah,
aku yakin mereka bukan lagi kesatria-kesatria mungil yang dulu masih terbata-bata
bertanya tentang darma. Mereka bukan lagi kanak-kanak yang mengadu tentang
ketidakadilan cinta dan kasih kami. Mereka bukan lagi anak-anak manis lucu yang
tertawa sambil menangis di pangkuan kami. Mereka telah dewasa dalam tempaan
senjata. Dan mereka adalah cermin diri kami, para orang tua, guru, brahma dan
apapun sebutan yang pantas untuk kami bagi mereka. Mereka telah menjadi kesatria
yang telah paham arti darma bagi kesatria. Mereka tidak hanya menyanyikan kidung
darma sebagai tumpuan memanggul senjata. Mereka adalah ksatria yang mencerahkan
diri mereka dengan pertempuran-pertempuran yang sebelumnya telah kami ceritakan
sebagai simbol kejayaan dan kekuatan kami.
Rupanya
cerita-cerita perang yang kami gulirkan itulah yang menjadikan diri mereka
kerdil. Demi sebuah predikat “pahlawan” yang bergulir menempel di pusara mereka
kelak, mereka bertarung dan mencacah daging saudara sendiri. Oh Dewata yang
Agung, salahkan hamba yang tua dan tak bisa bijaksana ini!!
Perang
ini bukan perang badani, bukan perang melawan ketidakaadilan sebagaimana Kau
titahkan dalam DarmaMu. Namun pertarungan ini sesungguhnya hanyalah pertarungan
dalam diri mereka sendiri. Sengketa lama yang telah ditiupkan ke dada mereka
atas nama tahta. Sungguh hamba tak tahu bagaimana harus mencari kebajikan dari
darah yang tertumpah ini.
Sebesar
apapun perang ini, tak ada kemenangan bagi pertarungan yang tidak imbang. Tak
ada kekalahan dari pertarungan dengan darah keluarga sendiri selain rasa malu
yang menghunjam. Semua menumpah sia-sia ke tanah.
Esok,
mungkin anak-anak panah ini akan melesat jauh di dada para kesatria muda itu.
Mungkin juga akan menancap di dada para prajurit yang juga tak paham darma atau
pula arti dari perang besar ini. Namun demi darma, aku akan menanggalkan pucuk panahku ini sebagai puncak kematianku.
Tanah ini akan menjadi saksi kematian yang akan kujelang saat perang ini usai.
Demi Gangga yang mengalir muaranya di darahku aku bersumpah, pada perang inilah
kuserahkan kesempurnaan darmaku sebagai kesatria.
****
Di tepi kurusetra yang lain, seorang perempuan muda
mengasah mata panah dengan air suci. Di kepalanya tak lagi tersampir kerudung
sari. Tak sabar rasanya ia menunggu esok pagi, sebab ia akan menjadi sais
kereta pada perang besar yang telah lama ia nantikan. Tak sabar ia melepaskan
busur panasnya ke arah kesatria tua yang menjadi legenda pertarungan ini. Ini
adalah pertarungan pertamanya, namun ia yakin akan kemenangannya pada perang
ini, sebab perang ini akan menjadi peredam perang-perang yang bergelut di
dadanya selama ini. Sekali lagi ia telah paham, perang ini bukanlah perang
badani. Perang inilah yang akan mengusaikan kemelut di dada para kesatria
di seluruh Kurusetra, termasuk dirinya.
Rumah Ladam, Juni
2012
Dicatat oleh
Majalah Sastra Horison, Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar