Kamis, 16 Januari 2014

Ratih




Pintu diketuk dari luar. Dua lelaki samar-samar berbincang di luar pintu. Tiba-tiba jantung Ratih berdegub kencang. Belum sempurna Ratih menata perasaan, pintu kembali diketuk. Kali ini lebih keras. 

*

            Ratih tak tahu apa yang dilakukannya. Ia memiliki rencana yang untuk sebagian besar orang akan dianggap kejahatan. Ia putus asa. Tak ada yang bisa menolongnya. Tak ada sanak saudara yang ia miliki. Ibu minggat bertahun-tahun silam karena tak tahan menghadapi bapak. Ibu pergi dengan dua adik yang masih kecil ketika Ratih berusia dua belas tahun. Yang ia tahu ia memiliki satu keluarga: bapak.
            Ratih diam menatap bapak yang tidur di kursi. Sejak kecil Ratih terlatih oleh sikap kasar bapak yang ringan tangan menghajarnya ketika ia melakukan kesalahan, sekecil apapun kesalahan itu. Ratih ingat, dulu ia pernah bersengketa dengan anak lelaki tetangga. Roknya disingkap oleh anak itu. Ratih pun mengancam dan mengatai anak itu. Mengetahui hal itu, bapak bukan membela dirinya, justru membela anak lelaki itu. Dijambaknya rambut Ratih dan dihajarnya hingga kaki tangan Ratih membiru. “Jangan bersikap kasar! Ini kota besar! Jaga sikapmu kalau tak ingin celaka!” teriak bapak.
            Kini bapak tak lagi bisa menghajar Ratih. Ratih telah tumbuh menjadi perempuan dewasa, dan lelaki itu menyusut menjadi renta. Matanya pun telah buta. Ia tak bisa pergi kemana-mana. Ratih harus menuntunnya. Bapak akan berteriak-teriak ketika membutuhkan sesuatu. Ia akan meraung-raung bila Ratih tak segera datang. Ratih malu pada tetangga. Tak ada yang bisa dimintai tolong merawat bapak ketika ia bekerja. Mengupah orang pun ia tak mampu.
            Ratih membicarakan hal itu pada bapak, meminta pengertian bahwa ia harus bekerja untuk hidup mereka. Sia-sia. Bapak tak mau tahu. Ratih telah menyiapkan segala kebutuhan bapak di meja dekat bapak biasa duduk dan tiduran. Namun lelaki itu tak mau memakannya. Ia tetap duduk tanpa menjamah sedikitpun makanan di meja. Dan justru sebaliknya, ia kencing dan buang hajat di kursi itu juga. Dengan terpaksa, Ratih harus membersihkan semuanya meski tubuhnya lelah luar biasa sepulang kerja. Ratih bekerja di toko bangunan. Berjam-jam ia berdiri atau mondar mandir mengambilkan barang untuk pembeli.
            Ratih mengeluh. Ratih merasa ibu mencampakkan kesialan atas lelaki itu ke pundaknya. Bertahun-tahun ia hidup dengan bapak yang pemabuk dan jarang bekerja. Banyak hal harus ia hadapi seorang diri tanpa seorang pun membantu. Biaya hidup, sekolah, listrik, telah biasa ia tangani sejak ibu pergi. Namun baru kali ini ia mengeluh.
            Malam itu juga Ratih berjanji pada diri sendiri, bahwa bapak adalah kesialan terakhirnya.  Semalaman ia berpikir tentang cara membuang kesialan yang ia tanggung selama ini. Ia berpikir inilah saat tepat untuk melepas nasib buruk yang membelenggunya.
            Esok harinya, diajaknya bapak pergi berkereta. Dengan alasan berobat ia mengajak bapak naik kereta eksekutif yang menguras tabungannya. Ratih tak peduli. Kesialannya akan segera berakhir. Mereka pun sampai di stasiun berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya…
            Kereta melaju, bapak tak begitu rewel seperti biasanya, justru sangat patuh. Ia tak banyak bertanya, tak banyak menuntut seperti biasanya. Sebersit Ratih berniat mengurung rencana. Cemas. Bagaimana kalau bapak tahu rencananya? Apakah bapak akan meminta maaf dan berjanji memperbaiki sikap? Banyak sekali pertanyaan dan keraguan di kepala Ratih. Namun begitu mengingat nasib sedih akibat bapak, ia pun membulatkan tekad.
            Empat jam duduk di kereta, bapak mulai lelah dan rewel. Ratih memutuskan untuk turun di stasiun berikutnya. Stasiun yang cukup besar untuk melancarkan rencananya.
            Ratih membantu bapak turun dari kereta. Lelaki itu tampak kepayahan. Keringat membasah di leher bajunya. Panas sekali stasiun siang itu. Stasiun padat dengan pengembara yang datang dan pergi. Penjemput pun tak sabar menunggu di luar stasiun. Dada ratih memburu. Telapak tangannya membasah. Bapak menggenggam erat tangannya. Telah tiga kali Ratih berjalan memutari peron. Pemilik warung di peron pun menatapnya bingung sekaligus iba. “Cari apa, mbak?” tanyanya menawarkan dagangan. Ratih menggeleng. Keraguan membumbung di kepalanya. Ratih mencoba mengingat sikap kasar bapak selama ini. Namun tak bisa. Seperti amnesia, Ratih tak mampu mengingat. Ia bulatkan tekad. Mereka duduk di kursi tunggu. Kereta berlalu lalang di depan mereka. Ia sorongkan tas kresek hitam berisi makanan ke pangkuan bapak.
            “Pak, Ratih mau ke toilet. Bapak tunggu disini, ya?”. Ratih berjalan ke loket. Dipesannya tiket pulang untuk satu orang dan menunggu kereta di kursi yang jauh dengan kursi bapak. Mata Ratih menatap bapak. Lelaki itu tampak mulai resah. Beberapa kali mata bapak seperti menatap Ratih. Ratih tergeragap. Keraguan makin membesar di kepalanya.
            Kereta yang ditunggunya tiba. Berjejalan di pintu kereta, air mata Ratih menderas. Sebenarnya ia ingin duduk di sisi kanan agar tak melihat stasiun itu lagi. Namun tak ada kursi lain. Terpaksa ia duduk di sana. Matanya basah menatap kursi di luar jendela. Bapak mengusap kening kegerahan. Pemandangan itulah yang terakhir ia lihat sebelum kereta meninggalkan stasiun. Ia berharap dapat melupakan bayangan itu. Dipejamkannya mata kuat-kuat.

*

            Pintu masih diketuk dari luar. Ratih tak tahu apa yang harus ia lakukan. Tak ada tempat untuk lari. Satu-satunya kesempatan yang dimilikinya hanyalah berjalan dan membuka pintu. Tangannya melumpuh ketika pintu terbuka. Seorang polisi dan lelaki tua buta berdiri di depan pintu. Sepertinya ia mengenal lelaki tua itu.

                                                                                                Rumah Ladam,  April 2012
                                                                                               Dicatat oleh Solopos, April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar