Pintu diketuk dari luar. Dua lelaki samar-samar berbincang
di luar pintu. Tiba-tiba jantung Ratih berdegub kencang. Belum sempurna Ratih menata
perasaan, pintu kembali diketuk. Kali ini lebih keras.
*
Ratih
tak tahu apa yang dilakukannya. Ia memiliki rencana yang untuk sebagian besar
orang akan dianggap kejahatan. Ia putus asa. Tak ada yang bisa menolongnya. Tak
ada sanak saudara yang ia miliki. Ibu minggat bertahun-tahun silam karena tak
tahan menghadapi bapak. Ibu pergi dengan dua adik yang masih kecil ketika Ratih
berusia dua belas tahun. Yang ia tahu ia memiliki satu keluarga: bapak.
Ratih
diam menatap bapak yang tidur di kursi. Sejak kecil Ratih terlatih oleh sikap
kasar bapak yang ringan tangan menghajarnya ketika ia melakukan kesalahan, sekecil
apapun kesalahan itu. Ratih ingat, dulu ia pernah bersengketa dengan anak
lelaki tetangga. Roknya disingkap oleh anak itu. Ratih pun mengancam dan
mengatai anak itu. Mengetahui hal itu, bapak bukan membela dirinya, justru membela
anak lelaki itu. Dijambaknya rambut Ratih dan dihajarnya hingga kaki tangan
Ratih membiru. “Jangan bersikap kasar! Ini kota besar! Jaga sikapmu kalau tak
ingin celaka!” teriak bapak.
Kini
bapak tak lagi bisa menghajar Ratih. Ratih telah tumbuh menjadi perempuan
dewasa, dan lelaki itu menyusut menjadi renta. Matanya pun telah buta. Ia tak
bisa pergi kemana-mana. Ratih harus menuntunnya. Bapak akan berteriak-teriak ketika
membutuhkan sesuatu. Ia akan meraung-raung bila Ratih tak segera datang. Ratih
malu pada tetangga. Tak ada yang bisa dimintai tolong merawat bapak ketika ia
bekerja. Mengupah orang pun ia tak mampu.
Ratih
membicarakan hal itu pada bapak, meminta pengertian bahwa ia harus bekerja
untuk hidup mereka. Sia-sia. Bapak tak mau tahu. Ratih telah menyiapkan segala
kebutuhan bapak di meja dekat bapak biasa duduk dan tiduran. Namun lelaki itu
tak mau memakannya. Ia tetap duduk tanpa menjamah sedikitpun makanan di meja.
Dan justru sebaliknya, ia kencing dan buang hajat di kursi itu juga. Dengan
terpaksa, Ratih harus membersihkan semuanya meski tubuhnya lelah luar biasa
sepulang kerja. Ratih bekerja di toko bangunan. Berjam-jam ia berdiri atau
mondar mandir mengambilkan barang untuk pembeli.
Ratih
mengeluh. Ratih merasa ibu mencampakkan kesialan atas lelaki itu ke pundaknya.
Bertahun-tahun ia hidup dengan bapak yang pemabuk dan jarang bekerja. Banyak
hal harus ia hadapi seorang diri tanpa seorang pun membantu. Biaya hidup, sekolah,
listrik, telah biasa ia tangani sejak ibu pergi. Namun baru kali ini ia mengeluh.
Malam
itu juga Ratih berjanji pada diri sendiri, bahwa bapak adalah kesialan
terakhirnya. Semalaman ia berpikir tentang
cara membuang kesialan yang ia tanggung selama ini. Ia berpikir inilah saat
tepat untuk melepas nasib buruk yang membelenggunya.
Esok
harinya, diajaknya bapak pergi berkereta. Dengan alasan berobat ia mengajak
bapak naik kereta eksekutif yang menguras tabungannya. Ratih tak peduli.
Kesialannya akan segera berakhir. Mereka pun sampai di stasiun berikutnya, dan
berikutnya, dan berikutnya…
Kereta
melaju, bapak tak begitu rewel seperti biasanya, justru sangat patuh. Ia tak
banyak bertanya, tak banyak menuntut seperti biasanya. Sebersit Ratih berniat
mengurung rencana. Cemas. Bagaimana kalau bapak tahu rencananya? Apakah bapak
akan meminta maaf dan berjanji memperbaiki sikap? Banyak sekali pertanyaan dan
keraguan di kepala Ratih. Namun begitu mengingat nasib sedih akibat bapak, ia
pun membulatkan tekad.
Empat
jam duduk di kereta, bapak mulai lelah dan rewel. Ratih memutuskan untuk turun
di stasiun berikutnya. Stasiun yang cukup besar untuk melancarkan rencananya.
Ratih
membantu bapak turun dari kereta. Lelaki itu tampak kepayahan. Keringat
membasah di leher bajunya. Panas sekali stasiun siang itu. Stasiun padat dengan
pengembara yang datang dan pergi. Penjemput pun tak sabar menunggu di luar
stasiun. Dada ratih memburu. Telapak tangannya membasah. Bapak menggenggam erat
tangannya. Telah tiga kali Ratih berjalan memutari peron. Pemilik warung di
peron pun menatapnya bingung sekaligus iba. “Cari
apa, mbak?” tanyanya menawarkan dagangan. Ratih menggeleng. Keraguan
membumbung di kepalanya. Ratih mencoba mengingat sikap kasar bapak selama ini.
Namun tak bisa. Seperti amnesia, Ratih tak mampu mengingat. Ia bulatkan tekad. Mereka
duduk di kursi tunggu. Kereta berlalu lalang di depan mereka. Ia sorongkan tas
kresek hitam berisi makanan ke pangkuan bapak.
“Pak,
Ratih mau ke toilet. Bapak tunggu disini, ya?”. Ratih berjalan ke loket.
Dipesannya tiket pulang untuk satu orang dan menunggu kereta di kursi yang jauh
dengan kursi bapak. Mata Ratih menatap bapak. Lelaki itu tampak mulai resah.
Beberapa kali mata bapak seperti menatap Ratih. Ratih tergeragap. Keraguan
makin membesar di kepalanya.
Kereta
yang ditunggunya tiba. Berjejalan di pintu kereta, air mata Ratih menderas.
Sebenarnya ia ingin duduk di sisi kanan agar tak melihat stasiun itu lagi. Namun
tak ada kursi lain. Terpaksa ia duduk di sana. Matanya basah menatap kursi di
luar jendela. Bapak mengusap kening kegerahan. Pemandangan itulah yang terakhir
ia lihat sebelum kereta meninggalkan stasiun. Ia berharap dapat melupakan
bayangan itu. Dipejamkannya mata kuat-kuat.
*
Pintu
masih diketuk dari luar. Ratih tak tahu apa yang harus ia lakukan. Tak ada tempat
untuk lari. Satu-satunya kesempatan yang dimilikinya hanyalah berjalan dan
membuka pintu. Tangannya melumpuh ketika pintu terbuka. Seorang polisi dan
lelaki tua buta berdiri di depan pintu. Sepertinya ia mengenal lelaki tua itu.
Rumah Ladam, April 2012
Dicatat oleh Solopos, April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar