Kamis, 16 Januari 2014

Lubang Luka


Aku menjawab semua pertanyaan komisaris polisi itu dengan hati-hati. Aku menceritakan pembicaraanku dengan Leni malam itu. Pembicaraan yang aku sendiri tidak begitu jelas karena ia mabuk. Komisaris Polisi itu menyimak ceritaku dengan tatapan dingin. Sesekali ia menghela napas dalam sambil menatap mataku tajam penuh selidik. Aku adalah orang terakhir yang berbicara dengan Leni malam itu. Setelah itu Leni dinyatakan tewas karena mabuk dan over dosis. Polisi sedang mengusut kasus itu.
Kematian Leni mengagetkanku. Aku pernah memusuhinya ketika ia merebut pacarku saat SMA, dua belas tahun yang lalu. Sebelumnya kami tak begitu mengenal satu sama lain. Kami berbeda kelas dan tidak saling memerhatikan. Aku mulai memerhatikannya ketika Jana, pacarku saat itu diam-diam selingkuh dengannya. Sejak itulah aku mengenal namanya, dan mulai bermusuhan. Leni bukan orang yang asing bagiku. Reputasi Leni sebagai cewek yang suka menguber cowok menjadikanku naik pitam. Ia pun membalas dampratanku dan sama sekali tidak merasa bersalah karena telah menjadi pihak ketiga dalam hubungan kami.
Aku memusuhinya. Jana pergi meninggalkan kami berdua dengan tanda koma. Tak ada penyelesaian apapun yang dilakukannya. Jana tak memilih siapapun di antara kami. Tak lama kemudian Leni pun menggandeng kakak kelas yang sudah lama diincar Santi, teman baik dan anggota gengku. Sejak saat itu resmilah dia sebagai musuh seluruh anggota geng kami.
Aku juga harus membagi konsentrasi dengan ujian akhir dan ujian masuk universitas yang telah lama aku impikan. Kuabaikan perasaanku dan semua konflik asmara yang kuhadapi dan kembali belajar dengan sungguh-sungguh. Aku melupakan peristiwa itu dan fokus pada studi dan sekolahku. Aku diterima di jurusan dan universitas yang aku impikan. Aku pun sibuk dengan kuliahku dan mulai melupakan kejadian itu.
Hingga kemudian aku bertemu lagi dengan Leni ketika aku mendapat pekerjaan di kantor ini. Memang kami berbeda perusahaan tapi pemilik dan bos kami adalah orang yang sama. Bos pemilik perusahaan kami memiliki sejumlah perusahaan yang secara administratif ditempatkan di satu atap. Leni berada di usaha pelayanan jasa pengadaan barang bangunan, sedang aku arsitek perancang dari usaha kontraktor. Hampir setiap hari aku bertemu dengan Leni, setidaknya berpapasan di lift atau di toilet. Dengan alasan sentimentil aku tak sudi melihat wajahnya. Namun dia justru seolah menjual tampangnya padaku. Sengaja ia sorongkan mukanya ketika bertemu, tapi tetap saja kami berpura-pura tidak saling mengenal.
Perang dingin itu masih berlangsung tanpa memengaruhi pekerjaan kami. Aku mengabaikannya dan konsentrasi dengan pekerjaanku. Sejak Iman, teman satu tim sekaligus teman dekatku mengundurkan diri, banyak pekerjaan Iman yang dilimpahkan padaku. Bos berjanji akan mencari pengganti posisi Iman tapi selama dua bulan belum juga ada orang yang tepat menjadi partnerku. Sejak saat itu aku selalu menyimpan obat sakit kepala, vitamin penambah stamina dan obat maag yang selalu kusiapkan di tas untuk berjaga-jaga. Dengan ritme kerja yang akhirnya dua kali lipat dari sebelumnya aku harus berjaga-jaga dari penyakit yang kerap datang.
Suatu ketika bos mengadakan pesta ulang tahun pernikahan. Semua pegawai dan karyawan dari semua perusahaan yang dimilikinya diundang datang ke pesta yang diadakan di rumah bos yang mewah dan besar. Aku datang sendiri karena mas Bimo, tunanganku, sedang di luar kota. Mas Bimo adalah kekasihku sejak kuliah. Ia bekerja sebagai konsultan bangunan di sebuah perusahaan property ternama di kota ini. Pekerjaannya menuntut ia lebih banyak di lapangan dan bahkan harus berdinas beberapa hari di luar kota. Bulan lalu kami bertunangan.
Beberapa waktu yang lalu mas Bimo mengatakan padaku bahwa ia tak bisa menemaniku ke pesta ulang tahun bosku karena ia mendapat tugas ke luar kota selama tiga hari. Akhirnya malam itu aku datang seorang diri.
Pesta berlangsung meriah. Halaman dan kebun rumah bos dipenuhi tamu undangan. Aku melihat Leni duduk sendiri di pojok ruangan ditemani sebotol besar anggur. Ia melambaikan tangannya padaku, mengundangku ke mejanya. Ia peminum ulung. Ia menawariku minum. Aku menolaknya tapi ia memaksa. Ia tertawa saat aku terbatuk-batuk dan menyerah pada teguk pertama. Akhirnya aku hanya duduk diam menyimak ceritanya yang semakin ngawur. Artikulasinya mulai tak jelas. Botol anggurnya hampir tandas ketika aku pamit pulang padanya. Ia sudah telungkup di meja depannya dan tak menjawab.
Pagi berikutnya aku tidak bertemu dengannya di lift, toilet atau di tempat manapun. Polisi mendatangi kantor dan membawaku ke kantor polisi. Aku dimintai berbagai macam keterangan dan pertanyaan tentang pesta dan kejadian semalam. Sepeninggalku dari sana Leni sudah tak bernyawa. Ia mabuk berat dan minum obat sakit kepala hingga over dosis.
Kepala polisi itu terus mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Setelah tiga jam tanya jawab yang melelahkan itu, aku diperbolehkan pulang. Aku pulang dengan sedikit perasaan lega. Setidaknya beban berat sedikit terangkat dari punggungku.
Aku pulang naik taksi. Aku memejamkan mata, mengarus taksi yang membawaku ke rumah. Perlahan aku mengingat kembali pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan komisaris polisi tadi dan mencatatnya dalam ingatan terbaik yang aku miliki. Tubuhku terlalu lelah untuk mencatat. Semalam aku pulang larut dan berkeras berangkat pagi-pagi ke kantor.

*****

Aku mencari kado untuk bosku saat jam istirahat. Ketika memarkir mobil, tiba-tiba jantungku berdetak keras. Sangat keras. Aku mengenal mobil itu. Mengapa mobil mas Bimo ada di sini? Bukankah ia tiga hari ke luar kota? tanyaku dalam hati.
Ternyata mas Bimo tak sendiri, seorang perempuan keluar dari mobil dan menggandengnya mesra sekali. Mereka keluar dari mobil sambil tertawa-tawa. Aku tak dapat membendung perasaanku. Kulepas cincin yang melingkar di jari manisku. Sebulan sudah cincin itu bertengger di sana dan sekarang aku ingin melepasnya. Air mataku tak dapat kutahan demi melihat perempuan itu. Leni! Ya, lagi-lagi Leni!
Kuurungkan niat mencari kado dan memutar mobil kembali ke kantor. Aku menangis sesenggukan di ruanganku. Aku tidak ingat makan siang dan malas beranjak pulang. Aku berangkat ke rumah bos dari kantor dan berdandan seadanya.
Pesta sudah lama dimulai ketika aku tiba. Kulihat Leni duduk sendiri di pojok ruangan. Ia melambaikan tangan padaku. Di depannya sebotol besar minuman tinggal separuh botol. Ia mabuk. Aku menghampiri mejanya dan duduk di depannya. Aku hanya diam seperti anak kucing diguyur air meskipun hatiku terasa mengkal dan mendidih sekali pada perempuan ini.
Ia berceloteh tak jelas ketika aku merogoh obat sakit kepala di tasku. Mulutnya beraroma alkohol. Matanya sudah setengah terpejam, namun mulutnya masih juga mengoceh. Aku tak tahu apa yang dibicarakannya. Ia menawariku minum, dan aku menolaknya. Ia memaksa dengan menuangkan minuman keras itu ke gelasku. Ia tertawa ketika aku terbatuk-batuk hebat saat cairan panas itu melewati tenggorokanku. Tubuhku menolak minuman yang memenuhi tenggorokan, tapi sebenarnya dirikulah yang menolak keberadaan perempuan itu dalam hidupku. Aku tidak ingin melanjutkan minumku sementara ia terus minum tanpa khawatir.
Aku memasukkan beberapa obat sakit kepala ke gelasnya dan menuangkan anggur dari botol di depan hidungnya. Ia menenggaknya hingga tandas. Ia terus mengoceh sementara aku hanya diam menatap gelasku yang masih utuh.
Tak lama kemudian ia ambruk menelungkup meja. Aku bangkit dan mencari tuan rumah untuk mengucapkan selamat dan pamit pulang. Hatiku plong tapi perasaanku tak tenang malam itu. Aku pulang dan mandi di pancuran untuk menghilangkan rasa marah, salah, lemah dan dosa yang mungkin masih tersisa di kepalaku. Kuabaikan telepon yang berdering berkali-kali dari mas Bimo. Kutenggak pil tidur dan segera membaringkan tubuh, berharap semua ini hanya mimpi buruk.

*****

Aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Aku ingin segera tiba di kantor. Tiba-tiba aku berharap bertemu dengan Leni di lift, toilet atau di manapun. Tapi tidak. Hampir tengah hari aku sudah bolak-balik ke kamar mandi, tak sedikitpun aku jumpai batang hidung Leni yang biasanya membenahi bedak, lipstik atau mascaranya di cermin toilet. Aku mulai cemas. Diam-diam perasaan takut menyerangku. Aku tetap mengabaikan telpon dari mas Bimo yang berkali-kali mengirim SMS menanyakan keadaanku.
Lewat tengah hari, Ida, recepsionis  kantor menelponku lewat intercom. Seorang polisi dan intel datang ke kantor dan mencariku. Dadaku berdegup kencang dan kukatakan pada Ida agar mempersilahkannya masuk ke ruanganku lima menit lagi. Aku membuka tasku dan meyakinkan diri bahwa tak ada obat sakit kepala disana.
Seorang intel berjaket hitam masuk ke ruanganku. Aku mempersilahkannya. Ia duduk dengan sopan di depanku. Lama ia tidak memulai pembicaraan dan hanya menatapku. Aku berusaha tetap tenang menatapnya dan menanyakan maksud dan tujuannya. Tapi ia tetap diam menatapku tajam penuh selidik.
“Jana?” pekikku kaget. Waktu seolah berhenti.
“Ya” jawabnya pendek nyaris tanpa senyum..
                                                                        Rumah Ladam, Mei 2013
Dicatat oleh Majalah Budaya Sagang bulan Juli dengan judul "Malam Terakhir Leni" 2013

1 komentar:

  1. Casino Review and Ratings - DrMCD
    This 창원 출장마사지 is the first time we have seen any casino-related activities in Vegas. 군산 출장마사지 In our Casino 안동 출장마사지 Rating, this casino has a reputation 하남 출장샵 rating of  Rating: 4.2 서울특별 출장마사지 · ‎Review by Dr

    BalasHapus