Aku menjawab semua pertanyaan komisaris polisi itu
dengan hati-hati. Aku menceritakan pembicaraanku dengan Leni malam itu. Pembicaraan
yang aku sendiri tidak begitu jelas karena ia mabuk. Komisaris Polisi itu
menyimak ceritaku dengan tatapan dingin. Sesekali ia menghela napas dalam sambil
menatap mataku tajam penuh selidik. Aku adalah orang terakhir yang berbicara
dengan Leni malam itu. Setelah itu Leni dinyatakan tewas karena mabuk dan over
dosis. Polisi sedang mengusut kasus itu.
Kematian Leni mengagetkanku. Aku pernah memusuhinya
ketika ia merebut pacarku saat SMA, dua belas tahun yang lalu. Sebelumnya kami
tak begitu mengenal satu sama lain. Kami berbeda kelas dan tidak saling
memerhatikan. Aku mulai memerhatikannya ketika Jana, pacarku saat itu diam-diam
selingkuh dengannya. Sejak itulah aku mengenal namanya, dan mulai bermusuhan. Leni
bukan orang yang asing bagiku. Reputasi Leni sebagai cewek yang suka menguber
cowok menjadikanku naik pitam. Ia pun membalas dampratanku dan sama sekali
tidak merasa bersalah karena telah menjadi pihak ketiga dalam hubungan kami.
Aku memusuhinya. Jana pergi meninggalkan kami
berdua dengan tanda koma. Tak ada penyelesaian apapun yang dilakukannya. Jana
tak memilih siapapun di antara kami. Tak lama kemudian Leni pun menggandeng
kakak kelas yang sudah lama diincar Santi, teman baik dan anggota gengku. Sejak saat itu resmilah dia
sebagai musuh seluruh anggota geng
kami.
Aku juga harus membagi konsentrasi dengan ujian
akhir dan ujian masuk universitas yang telah lama aku impikan. Kuabaikan
perasaanku dan semua konflik asmara yang kuhadapi dan kembali belajar dengan
sungguh-sungguh. Aku melupakan peristiwa itu dan fokus pada studi dan sekolahku.
Aku diterima di jurusan dan universitas yang aku impikan. Aku pun sibuk dengan
kuliahku dan mulai melupakan kejadian itu.
Hingga kemudian aku bertemu lagi dengan Leni ketika
aku mendapat pekerjaan di kantor ini. Memang kami berbeda perusahaan tapi
pemilik dan bos kami adalah orang yang sama. Bos pemilik perusahaan kami
memiliki sejumlah perusahaan yang secara administratif ditempatkan di satu
atap. Leni berada di usaha pelayanan jasa pengadaan barang bangunan, sedang aku
arsitek perancang dari usaha kontraktor. Hampir setiap hari aku bertemu dengan
Leni, setidaknya berpapasan di lift
atau di toilet. Dengan alasan sentimentil aku tak sudi melihat wajahnya. Namun
dia justru seolah menjual tampangnya padaku. Sengaja ia sorongkan mukanya
ketika bertemu, tapi tetap saja kami berpura-pura tidak saling mengenal.
Perang dingin itu masih berlangsung tanpa
memengaruhi pekerjaan kami. Aku mengabaikannya dan konsentrasi dengan
pekerjaanku. Sejak Iman, teman satu tim sekaligus teman dekatku mengundurkan
diri, banyak pekerjaan Iman yang dilimpahkan padaku. Bos berjanji akan mencari pengganti
posisi Iman tapi selama dua bulan belum juga ada orang yang tepat menjadi
partnerku. Sejak saat itu aku selalu menyimpan obat sakit kepala, vitamin penambah
stamina dan obat maag yang selalu kusiapkan di tas untuk berjaga-jaga. Dengan
ritme kerja yang akhirnya dua kali lipat dari sebelumnya aku harus berjaga-jaga
dari penyakit yang kerap datang.
Suatu ketika bos mengadakan pesta ulang tahun
pernikahan. Semua pegawai dan karyawan dari semua perusahaan yang dimilikinya diundang
datang ke pesta yang diadakan di rumah bos yang mewah dan besar. Aku datang
sendiri karena mas Bimo, tunanganku, sedang di luar kota. Mas Bimo adalah
kekasihku sejak kuliah. Ia bekerja sebagai konsultan bangunan di sebuah
perusahaan property ternama di kota
ini. Pekerjaannya menuntut ia lebih banyak di lapangan dan bahkan harus
berdinas beberapa hari di luar kota. Bulan lalu kami bertunangan.
Beberapa waktu yang lalu mas Bimo mengatakan padaku
bahwa ia tak bisa menemaniku ke pesta ulang tahun bosku karena ia mendapat
tugas ke luar kota selama tiga hari. Akhirnya malam itu aku datang seorang
diri.
Pesta berlangsung meriah. Halaman dan kebun rumah
bos dipenuhi tamu undangan. Aku melihat Leni duduk sendiri di pojok ruangan
ditemani sebotol besar anggur. Ia melambaikan tangannya padaku, mengundangku ke
mejanya. Ia peminum ulung. Ia menawariku minum. Aku menolaknya tapi ia memaksa.
Ia tertawa saat aku terbatuk-batuk dan menyerah pada teguk pertama. Akhirnya aku
hanya duduk diam menyimak ceritanya yang semakin ngawur. Artikulasinya mulai
tak jelas. Botol anggurnya hampir tandas ketika aku pamit pulang padanya. Ia sudah
telungkup di meja depannya dan tak menjawab.
Pagi berikutnya aku tidak bertemu dengannya di lift, toilet atau di tempat manapun. Polisi
mendatangi kantor dan membawaku ke kantor polisi. Aku dimintai berbagai macam keterangan
dan pertanyaan tentang pesta dan kejadian semalam. Sepeninggalku dari sana Leni
sudah tak bernyawa. Ia mabuk berat dan minum obat sakit kepala hingga over dosis.
Kepala polisi itu terus mencecarku dengan berbagai pertanyaan.
Setelah tiga jam tanya jawab yang melelahkan itu, aku diperbolehkan pulang. Aku
pulang dengan sedikit perasaan lega. Setidaknya beban berat sedikit terangkat
dari punggungku.
Aku pulang naik taksi. Aku memejamkan mata,
mengarus taksi yang membawaku ke rumah. Perlahan aku mengingat kembali
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan komisaris polisi tadi dan mencatatnya
dalam ingatan terbaik yang aku miliki. Tubuhku terlalu lelah untuk mencatat.
Semalam aku pulang larut dan berkeras berangkat pagi-pagi ke kantor.
*****
Aku mencari kado untuk bosku saat jam istirahat. Ketika
memarkir mobil, tiba-tiba jantungku berdetak keras. Sangat keras. Aku mengenal
mobil itu. Mengapa mobil mas Bimo ada di
sini? Bukankah ia tiga hari ke luar kota? tanyaku dalam hati.
Ternyata mas Bimo tak sendiri, seorang perempuan
keluar dari mobil dan menggandengnya mesra sekali. Mereka keluar dari mobil
sambil tertawa-tawa. Aku tak dapat membendung perasaanku. Kulepas cincin yang
melingkar di jari manisku. Sebulan sudah cincin itu bertengger di sana dan
sekarang aku ingin melepasnya. Air mataku tak dapat kutahan demi melihat perempuan
itu. Leni! Ya, lagi-lagi Leni!
Kuurungkan niat mencari kado dan memutar mobil kembali
ke kantor. Aku menangis sesenggukan di ruanganku. Aku tidak ingat makan siang
dan malas beranjak pulang. Aku berangkat ke rumah bos dari kantor dan berdandan
seadanya.
Pesta sudah lama dimulai ketika aku tiba. Kulihat Leni
duduk sendiri di pojok ruangan. Ia melambaikan tangan padaku. Di depannya sebotol
besar minuman tinggal separuh botol. Ia mabuk. Aku menghampiri mejanya dan
duduk di depannya. Aku hanya diam seperti anak kucing diguyur air meskipun hatiku
terasa mengkal dan mendidih sekali pada perempuan ini.
Ia berceloteh tak jelas ketika aku merogoh obat
sakit kepala di tasku. Mulutnya beraroma alkohol. Matanya sudah setengah
terpejam, namun mulutnya masih juga mengoceh. Aku tak tahu apa yang
dibicarakannya. Ia menawariku minum, dan aku menolaknya. Ia memaksa dengan
menuangkan minuman keras itu ke gelasku. Ia tertawa ketika aku terbatuk-batuk
hebat saat cairan panas itu melewati tenggorokanku. Tubuhku menolak minuman
yang memenuhi tenggorokan, tapi sebenarnya dirikulah yang menolak keberadaan
perempuan itu dalam hidupku. Aku tidak ingin melanjutkan minumku sementara ia
terus minum tanpa khawatir.
Aku memasukkan beberapa obat sakit kepala ke
gelasnya dan menuangkan anggur dari botol di depan hidungnya. Ia menenggaknya
hingga tandas. Ia terus mengoceh sementara aku hanya diam menatap gelasku yang masih
utuh.
Tak lama kemudian ia ambruk menelungkup meja. Aku bangkit
dan mencari tuan rumah untuk mengucapkan selamat dan pamit pulang. Hatiku plong
tapi perasaanku tak tenang malam itu. Aku pulang dan mandi di pancuran untuk
menghilangkan rasa marah, salah, lemah dan dosa yang mungkin masih tersisa di
kepalaku. Kuabaikan telepon yang berdering berkali-kali dari mas Bimo. Kutenggak
pil tidur dan segera membaringkan tubuh, berharap semua ini hanya mimpi buruk.
*****
Aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Aku ingin
segera tiba di kantor. Tiba-tiba aku berharap bertemu dengan Leni di lift, toilet atau di manapun. Tapi
tidak. Hampir tengah hari aku sudah bolak-balik ke kamar mandi, tak sedikitpun
aku jumpai batang hidung Leni yang biasanya membenahi bedak, lipstik atau mascaranya di cermin toilet. Aku mulai
cemas. Diam-diam perasaan takut menyerangku. Aku tetap mengabaikan telpon dari
mas Bimo yang berkali-kali mengirim SMS menanyakan keadaanku.
Lewat tengah hari, Ida, recepsionis kantor menelponku
lewat intercom. Seorang polisi dan intel datang ke kantor dan mencariku. Dadaku
berdegup kencang dan kukatakan pada Ida agar mempersilahkannya masuk ke
ruanganku lima menit lagi. Aku membuka tasku dan meyakinkan diri bahwa tak ada
obat sakit kepala disana.
Seorang intel berjaket hitam masuk ke ruanganku. Aku
mempersilahkannya. Ia duduk dengan sopan di depanku. Lama ia tidak memulai pembicaraan
dan hanya menatapku. Aku berusaha tetap tenang menatapnya dan menanyakan maksud
dan tujuannya. Tapi ia tetap diam menatapku tajam penuh selidik.
“Jana?” pekikku kaget. Waktu seolah berhenti.
“Ya” jawabnya pendek nyaris tanpa senyum..
Rumah Ladam, Mei 2013
Dicatat oleh Majalah Budaya Sagang bulan Juli dengan judul "Malam Terakhir Leni" 2013
Casino Review and Ratings - DrMCD
BalasHapusThis 창원 출장마사지 is the first time we have seen any casino-related activities in Vegas. 군산 출장마사지 In our Casino 안동 출장마사지 Rating, this casino has a reputation 하남 출장샵 rating of Rating: 4.2 서울특별 출장마사지 · Review by Dr