Dulu,
orang di kampungku percaya apabila ada yang mendengar suara burung dares pada
malam hari, maka akan ada orang di kampung ini yang meninggal. Orang-orang
percaya burung dares adalah tangan kanan malaikat maut. Ia datang memberi
tanda-tanda kematian pada penduduk dengan suaranya. Krruuueeekkkk suaranya menggema di malam sunyi. Orang-orang tua
kami mengatakan mereka, burung-burung itu, sedang menyobek kain mori, kain kafan bagi si calon mati. Dua
tiga kali sobekan, burung itu lalu pergi. Tak ada yang mendengar kepakan sayap
mereka, dan tak ada yang tahu ke arah mana mereka terbang.
Sejujurnya
tak pernah ada yang benar-benar pernah melihat rupa burung itu. Namun sebagian
orang mengira-ira ia sedikit lebih besar dari burung dara, berwarna putih pucat
seperti kain kafan, dan memiliki cakar yang hitam dan tajam. Juga tak ada yang
tahu persis letak sarangnya. Mungkin ia sejenis burung malam yang tinggal di
gua-gua atau jauh di dalam hutan. Tak ada yang tahu.
Orang-orang
di kampung pun membaca suara burung dares. Orang-orang percaya, apabila suara
burung itu muncul saat malam masih dangkal, bahkan bisa dibilang masih sore,
maka yang akan meninggal adalah orang yang berumur setengah baya. Seperti
kematian pak Imam, tetangga sebelah. Ia meninggal karena kecelakaan saat hendak
berangkat membawa dagangannya ke pasar. Sebuah truk menyerempetnya dari
belakang dan ia terguling menabrak pohon besar. Ia masih bisa dibilang muda,
anak sulungnya baru kelas tiga SMP kala itu. Ketika hendak mengantar pak Imam
ke liang lahat, orang-orang pun ramai membicarakan suara burung dares yang
terdengar malam sebelumnya.
Kalau
burung dares tedengar pada tengah malam, ketika malam benar-benar sunyi, maka
biasanya yang akan meninggal adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Entah itu
ilmu hitam maupun putih, yang jelas orang-orang percaya bahwa orang berilmu
biasanya akan meninggalkan keluarganya di waktu-waktu yang sangat rahasia.
Seperti halnya wak Haji, guru mengaji kami. Banyak orang mendengar suara burung
dares pada tengah malam. Ketika subuh menjelang, kentongan dibunyikan bahwa wak
Haji meninggal seusai menunaikan sholat di sepertiga malam terakhir. Hal itu
baru diketahui oleh mak Haji sebelum ia mengajak suaminya sholat subuh ke
surau. Bahkan mak Haji sendiripun tidak tahu suaminya telah meninggal.
Atau
juga kematian mbah Kliwon, orang sakti di kampung kami. Banyak orang mengatakan
bahwa ia bisa membuat guna-guna. Setiap hari ada saja orang-orang dari luar
kota yang datang ke rumahnya di ujung kampung. Mereka yang datang biasanya
membawa mobil berkilat, memakai jas dan dasi, sepertinya mereka adalah
orang-orang penting di kota. kematian mbah kliwon pun ditandai dengan suara
burung dares saat tengah malam. Saat itu aku baru kelas tiga SMP hendak berkeliling
dan berjaga ronda. Aku menggantikan ayah berjaga ronda malam itu karena ayah
sakit. Aku mendengar suara burung itu tak hanya tiga kali, namun
berbalas-balasan beberapa kali. Mungkin ada tiga atau empat burung dares yang
melewati kampung kami. Namun aku tak sedikitpun mengetahui seperti apa rupa
burung itu. Mungkin juga karena ilmu yang dimiliki mbah kliwon kelewat tinggi. Kain kafan yang dibutuhkan lebih dari rata-rata
orang. Maklum, mbah Kliwon orangnya tinggi besar dan menyeramkan. Jadi mungkin
burung-burung itu menyobek kain yang lebih banyak, begitu kata orang-orang.
Namun tanggapan lain mengatakan bahwa suara robekan mori itu diperuntukkan
pasien mbah Kliwon di luar kota yang meminta panjang umur.
Apabila
suara burung dares terdengar pada sepertiga malam terakhir maka biasanya yang
meninggal adalah orang-orang di usia tua. Dan ketika terdengar suara burung
dares saat subuh, maka biasanya yang meninggal adalah anak-anak atau orang yang
masih berusia muda. Seperti halnya si Atun anak mbak Siti yang baru berusia
tiga tahun. Ia tak pernah memilki riwayat sakit apapun yang sekiranya
berbahaya. Ia meninggal setelah bermain ayunan, ia terkena angin duduk kata orang-orang. Angin jahat yang membawa
kematian. Wajah si Atun pun pucat lalu membiru saat dibawa masuk ke dalam
rumah. Ia meninggal pada malam harinya.
Namun
beberapa waktu burung dares itu luput memberi tanda. Tanpa tanda apapun dari
burung itu, tahu-tahu salah seorang dari warga kami meninggal. Atau juga
sebaliknya, burung itu telah merobek kafan di kampung kami, namun tak juga
kunjung kabar kematian kami peroleh. Mungkin dari celah ini membuat
orang-orang, termasuk aku, tidak lagi percaya pada tanda-tanda yang diberikan
oleh burung itu. Apalagi kami telah mendapat nasehat dari ustaz di masjid bahwa
percaya hal-hal seperti itu termasuk syirik. Maka perlahan-lahan kami melupakan
cerita itu.
Seperti
mengetahui kepercayaan kami yang telah luntur, burung itu pun tak pernah lagi
terdengar di kampung kami. Sebagian hutan
sudah digunduli, mungkin burung itu sudah banyak yang mati, kata
orang-orang lagi. Namun siapa juga yang bisa menyakinkan bahwa sarang burung
itu di hutan-hutan? Sebagian sudah terlanjur percaya bahwa dia benar-benar
tangan kanan malaikat. Ia bukan makhluk nyata. Dan seiring dengan kehadirannya
yang tak lagi ada, cerita dan kepercayaan tentang burung penyambar kain kafan
itu pun tak lagi kami ingat.
Namun
beberapa malam ini, di kampung kami suara burung itu kembali terdengar. Krueeekkk, suaranya membelah sunyi di
tengah malam. Kami pun seperti tersentak dari tidur panjang. Setelah
bertahun-tahun tidak mendengar suaranya, kami seperti dikejutkan oleh kenangan
lama. Tak ada lagi orang tua yang menyuruh kami membaca doa, mengirim fatihah
agar si calon mati dimudahkan dalam sakaratul mautnya seperti dulu, karena
orang tua kami sudah tiada, dan kami pun telah menjadi orang tua. Aku pun tak
menyuruh anakku mengirim doa seperti halnya dulu pernah ayahku ajarkan ketika
aku mendengar suara burung itu. Itu suara
burung malam, ia mencari makan, kataku saat anakku bertanya mengenai suara
itu. Dalam hati aku mulai mengingat-ingat lagi warga kampung yang telah berusia
uzur, yang kiranya dapat menjadi jawaban dari suara burung itu. Tidak ada. Bu
Hindun sudah meninggal kemarin sore, pak Slamet sudah beberapa hari yang lalu,
kek Akbar juga sudah meninggal. Tak ada lagi orang tua di kampung kami. Aku pun
tidur dengan serba bertanya dan serba terjaga, kira-kira siapa yang akan
menjadi jawaban dari suara burung itu.
Keesokan
harinya tak ada apa-apa yang terjadi di kampung kami. Tak ada orang yang
meninggal. Namun malam berikutnya, suara burung itu kembali terdengar. Begitu
pula malam berikutnya. Orang-orang mulai kasak-kusuk membicarakan perihal suara
burung itu diikuti tanggapan tentang mitos yang tak lagi terbukti kebenarannya
pada zaman sekarang.
Meski
tak ada lagi rasa takut menghadapi mitos burung pembawa kematian, namun ketika
malam tiba, tak dipungkiri sebenarnya kami merasa gelisah. Malam-malam menjadi
suram. Antara kebenaran dan kemusyrikan, kepercayaan dan keyakinan kami seolah
diuji. Suara-suara itu seperti bersabung. Seperti menunggu giliran siapa yang
akan mati, kami menjadi was-was ketika mendengar suara burung itu merobek
malam. Semakin malam,suaranya semakin keras dan jelas. Tak hanya sekali dua,
namun ia seperti terbang bersama kawanan kelompoknya. Sepanjang malam ia akan
bergantian merobek kain kafan di atas kampung kami, di atas rumah kami. Tak
dapat lagi aku menahan rasa penasaran, aku pun memutuskan keluar rumah dan
melihat apa yang terjadi. Meski istriku melarang, namun aku tetap bersikeras ke
luar.
Alangkah
ternganganya aku melihat yang terjadi. Baru kali ini aku melihat wujud burung
perobek kafan itu. Jantungku berdegup kencang. Tak jauh berbeda dari dugaan dan
bayangan yang digambarkan padaku sebelumnya, putih, bercakar, dan sorot matanya
tajam menghunjam. Aku menyebut nama Tuhan berkali-kali demi melihat burung yang
demikian cemerlang namun menakutkan itu. Sayapnya makin lama makin membesar. Ia
beterbangan di atas rumah sambil mengeluarkan suara robekan. Sekali suara itu
robekan keluar dari paruhnya, kusebutkan nama Tuhan. Darahku berdesir kencang
tak beraturan. Aku jatuh bersandar di tiang teras depan. Sayap burung itu terus
melebar. Kakiku melumpuh takjub. Angin berhembus di tengkukku. Begitu dingin
menguyup. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.
Orang-orang
berkerumun memenuhi rumahku keesokan paginya. Mereka memasang bendera merah,
bendera kematian di depan rumah. Siapa
yang mati? tanyaku. Di ruang tamu, orang-orang lalu lalang menyalatkan jenazah
secara bergantian. Jenazah siapa itu?
Belum juga terjawab tanyaku, dari ruangan dalam terdengar tangis istriku. Para
tetangga mengerubuti dan menghiburnya. Memberinya minum air putih dan mengusap
lembut pundak dan kepalanya. Apa yang terjadi di sini? Aneh, tubuhku kebas dan
transparan. Segera aku melihat ke arah peti jenazah dan melongok ke dalamnya.
Jasadku terbujur tenang di dalamnya. Sudah
matikah aku? Tak ada yang bisa
ditanya dan tak ada yang menjawab. Orang-orang yang lalu lalang di sekitarku
mengacuhkanku.
Mereka
mengantar jenasahku ke pemakaman saat panas matahari pada tengah hari menjelang
sholat duhur. Doa dipimpin oleh pak Abdi, ustaz di masjid kami. Dari pidatonya
aku tahu penyebab kematianku: angin duduk. Aku ingat angin yang berhembus dingin
ke tengkukku. Dan burung dares itu, mungkin dia memang tangan kanan malaikat
maut atau bahkan malaikat maut sendiri, aku juga tidak tahu.
Dicatat oleh majalah
Papirus, Januari 2013
Masih bingung. Orangnya udah meninggal kok nulis blog ?
BalasHapusMasih bingung. Orangnya udah meninggal kok nulis blog ?
BalasHapusSalut pada jalan ceritanya...
BalasHapusJangan bingung gan. Penulis blognya kan cewe, sedangkan yang meninggal itu cowo. Bisa jadi ini copas, pengalaman hidup seseorang atau khayalan. Pastinya bukan yang meninggal penulisnya 😆
BalasHapusPemerhati suara burung dares .menyadarkan kita tentang datangnya malaikat maut.
BalasHapussubhanallah...
BalasHapus🤔🤔
BalasHapusini ngarang cerita
BalasHapussaya ada info dikit tentang burung
https://klinik-ghaib.blogspot.com/p/santet.html