Kamis, 16 Januari 2014

Tangan Kanan Malaikat Maut



Dulu, orang di kampungku percaya apabila ada yang mendengar suara burung dares pada malam hari, maka akan ada orang di kampung ini yang meninggal. Orang-orang percaya burung dares adalah tangan kanan malaikat maut. Ia datang memberi tanda-tanda kematian pada penduduk dengan suaranya. Krruuueeekkkk suaranya menggema di malam sunyi. Orang-orang tua kami mengatakan mereka, burung-burung itu, sedang menyobek kain mori, kain kafan bagi si calon mati. Dua tiga kali sobekan, burung itu lalu pergi. Tak ada yang mendengar kepakan sayap mereka, dan tak ada yang tahu ke arah mana mereka terbang.
Sejujurnya tak pernah ada yang benar-benar pernah melihat rupa burung itu. Namun sebagian orang mengira-ira ia sedikit lebih besar dari burung dara, berwarna putih pucat seperti kain kafan, dan memiliki cakar yang hitam dan tajam. Juga tak ada yang tahu persis letak sarangnya. Mungkin ia sejenis burung malam yang tinggal di gua-gua atau jauh di dalam hutan. Tak ada yang tahu.
Orang-orang di kampung pun membaca suara burung dares. Orang-orang percaya, apabila suara burung itu muncul saat malam masih dangkal, bahkan bisa dibilang masih sore, maka yang akan meninggal adalah orang yang berumur setengah baya. Seperti kematian pak Imam, tetangga sebelah. Ia meninggal karena kecelakaan saat hendak berangkat membawa dagangannya ke pasar. Sebuah truk menyerempetnya dari belakang dan ia terguling menabrak pohon besar. Ia masih bisa dibilang muda, anak sulungnya baru kelas tiga SMP kala itu. Ketika hendak mengantar pak Imam ke liang lahat, orang-orang pun ramai membicarakan suara burung dares yang terdengar malam sebelumnya.
Kalau burung dares tedengar pada tengah malam, ketika malam benar-benar sunyi, maka biasanya yang akan meninggal adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Entah itu ilmu hitam maupun putih, yang jelas orang-orang percaya bahwa orang berilmu biasanya akan meninggalkan keluarganya di waktu-waktu yang sangat rahasia. Seperti halnya wak Haji, guru mengaji kami. Banyak orang mendengar suara burung dares pada tengah malam. Ketika subuh menjelang, kentongan dibunyikan bahwa wak Haji meninggal seusai menunaikan sholat di sepertiga malam terakhir. Hal itu baru diketahui oleh mak Haji sebelum ia mengajak suaminya sholat subuh ke surau. Bahkan mak Haji sendiripun tidak tahu suaminya telah meninggal.
Atau juga kematian mbah Kliwon, orang sakti di kampung kami. Banyak orang mengatakan bahwa ia bisa membuat guna-guna. Setiap hari ada saja orang-orang dari luar kota yang datang ke rumahnya di ujung kampung. Mereka yang datang biasanya membawa mobil berkilat, memakai jas dan dasi, sepertinya mereka adalah orang-orang penting di kota. kematian mbah kliwon pun ditandai dengan suara burung dares saat tengah malam. Saat itu aku baru kelas tiga SMP hendak berkeliling dan berjaga ronda. Aku menggantikan ayah berjaga ronda malam itu karena ayah sakit. Aku mendengar suara burung itu tak hanya tiga kali, namun berbalas-balasan beberapa kali. Mungkin ada tiga atau empat burung dares yang melewati kampung kami. Namun aku tak sedikitpun mengetahui seperti apa rupa burung itu. Mungkin juga karena ilmu yang dimiliki mbah kliwon kelewat tinggi. Kain kafan yang dibutuhkan lebih dari rata-rata orang. Maklum, mbah Kliwon orangnya tinggi besar dan menyeramkan. Jadi mungkin burung-burung itu menyobek kain yang lebih banyak, begitu kata orang-orang. Namun tanggapan lain mengatakan bahwa suara robekan mori itu diperuntukkan pasien mbah Kliwon di luar kota yang meminta panjang umur.
Apabila suara burung dares terdengar pada sepertiga malam terakhir maka biasanya yang meninggal adalah orang-orang di usia tua. Dan ketika terdengar suara burung dares saat subuh, maka biasanya yang meninggal adalah anak-anak atau orang yang masih berusia muda. Seperti halnya si Atun anak mbak Siti yang baru berusia tiga tahun. Ia tak pernah memilki riwayat sakit apapun yang sekiranya berbahaya. Ia meninggal setelah bermain ayunan, ia terkena angin duduk kata orang-orang. Angin jahat yang membawa kematian. Wajah si Atun pun pucat lalu membiru saat dibawa masuk ke dalam rumah. Ia meninggal pada malam harinya.
Namun beberapa waktu burung dares itu luput memberi tanda. Tanpa tanda apapun dari burung itu, tahu-tahu salah seorang dari warga kami meninggal. Atau juga sebaliknya, burung itu telah merobek kafan di kampung kami, namun tak juga kunjung kabar kematian kami peroleh. Mungkin dari celah ini membuat orang-orang, termasuk aku, tidak lagi percaya pada tanda-tanda yang diberikan oleh burung itu. Apalagi kami telah mendapat nasehat dari ustaz di masjid bahwa percaya hal-hal seperti itu termasuk syirik. Maka perlahan-lahan kami melupakan cerita itu.
Seperti mengetahui kepercayaan kami yang telah luntur, burung itu pun tak pernah lagi terdengar di kampung kami. Sebagian hutan sudah digunduli, mungkin burung itu sudah banyak yang mati, kata orang-orang lagi. Namun siapa juga yang bisa menyakinkan bahwa sarang burung itu di hutan-hutan? Sebagian sudah terlanjur percaya bahwa dia benar-benar tangan kanan malaikat. Ia bukan makhluk nyata. Dan seiring dengan kehadirannya yang tak lagi ada, cerita dan kepercayaan tentang burung penyambar kain kafan itu pun tak lagi kami ingat.
Namun beberapa malam ini, di kampung kami suara burung itu kembali terdengar. Krueeekkk, suaranya membelah sunyi di tengah malam. Kami pun seperti tersentak dari tidur panjang. Setelah bertahun-tahun tidak mendengar suaranya, kami seperti dikejutkan oleh kenangan lama. Tak ada lagi orang tua yang menyuruh kami membaca doa, mengirim fatihah agar si calon mati dimudahkan dalam sakaratul mautnya seperti dulu, karena orang tua kami sudah tiada, dan kami pun telah menjadi orang tua. Aku pun tak menyuruh anakku mengirim doa seperti halnya dulu pernah ayahku ajarkan ketika aku mendengar suara burung itu. Itu suara burung malam, ia mencari makan, kataku saat anakku bertanya mengenai suara itu. Dalam hati aku mulai mengingat-ingat lagi warga kampung yang telah berusia uzur, yang kiranya dapat menjadi jawaban dari suara burung itu. Tidak ada. Bu Hindun sudah meninggal kemarin sore, pak Slamet sudah beberapa hari yang lalu, kek Akbar juga sudah meninggal. Tak ada lagi orang tua di kampung kami. Aku pun tidur dengan serba bertanya dan serba terjaga, kira-kira siapa yang akan menjadi jawaban dari suara burung itu.
Keesokan harinya tak ada apa-apa yang terjadi di kampung kami. Tak ada orang yang meninggal. Namun malam berikutnya, suara burung itu kembali terdengar. Begitu pula malam berikutnya. Orang-orang mulai kasak-kusuk membicarakan perihal suara burung itu diikuti tanggapan tentang mitos yang tak lagi terbukti kebenarannya pada zaman sekarang.
Meski tak ada lagi rasa takut menghadapi mitos burung pembawa kematian, namun ketika malam tiba, tak dipungkiri sebenarnya kami merasa gelisah. Malam-malam menjadi suram. Antara kebenaran dan kemusyrikan, kepercayaan dan keyakinan kami seolah diuji. Suara-suara itu seperti bersabung. Seperti menunggu giliran siapa yang akan mati, kami menjadi was-was ketika mendengar suara burung itu merobek malam. Semakin malam,suaranya semakin keras dan jelas. Tak hanya sekali dua, namun ia seperti terbang bersama kawanan kelompoknya. Sepanjang malam ia akan bergantian merobek kain kafan di atas kampung kami, di atas rumah kami. Tak dapat lagi aku menahan rasa penasaran, aku pun memutuskan keluar rumah dan melihat apa yang terjadi. Meski istriku melarang, namun aku tetap bersikeras ke luar.
Alangkah ternganganya aku melihat yang terjadi. Baru kali ini aku melihat wujud burung perobek kafan itu. Jantungku berdegup kencang. Tak jauh berbeda dari dugaan dan bayangan yang digambarkan padaku sebelumnya, putih, bercakar, dan sorot matanya tajam menghunjam. Aku menyebut nama Tuhan berkali-kali demi melihat burung yang demikian cemerlang namun menakutkan itu. Sayapnya makin lama makin membesar. Ia beterbangan di atas rumah sambil mengeluarkan suara robekan. Sekali suara itu robekan keluar dari paruhnya, kusebutkan nama Tuhan. Darahku berdesir kencang tak beraturan. Aku jatuh bersandar di tiang teras depan. Sayap burung itu terus melebar. Kakiku melumpuh takjub. Angin berhembus di tengkukku. Begitu dingin menguyup. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.
Orang-orang berkerumun memenuhi rumahku keesokan paginya. Mereka memasang bendera merah, bendera kematian di depan rumah. Siapa yang mati? tanyaku. Di ruang tamu, orang-orang lalu lalang menyalatkan jenazah secara bergantian. Jenazah siapa itu? Belum juga terjawab tanyaku, dari ruangan dalam terdengar tangis istriku. Para tetangga mengerubuti dan menghiburnya. Memberinya minum air putih dan mengusap lembut pundak dan kepalanya. Apa yang terjadi di sini? Aneh, tubuhku kebas dan transparan. Segera aku melihat ke arah peti jenazah dan melongok ke dalamnya. Jasadku terbujur tenang di dalamnya. Sudah matikah aku?  Tak ada yang bisa ditanya dan tak ada yang menjawab. Orang-orang yang lalu lalang di sekitarku mengacuhkanku.
Mereka mengantar jenasahku ke pemakaman saat panas matahari pada tengah hari menjelang sholat duhur. Doa dipimpin oleh pak Abdi, ustaz di masjid kami. Dari pidatonya aku tahu penyebab kematianku: angin duduk. Aku ingat angin yang berhembus dingin ke tengkukku. Dan burung dares itu, mungkin dia memang tangan kanan malaikat maut atau bahkan malaikat maut sendiri, aku juga tidak tahu.
Dicatat oleh majalah Papirus, Januari 2013

8 komentar:

  1. Masih bingung. Orangnya udah meninggal kok nulis blog ?

    BalasHapus
  2. Masih bingung. Orangnya udah meninggal kok nulis blog ?

    BalasHapus
  3. Jangan bingung gan. Penulis blognya kan cewe, sedangkan yang meninggal itu cowo. Bisa jadi ini copas, pengalaman hidup seseorang atau khayalan. Pastinya bukan yang meninggal penulisnya 😆

    BalasHapus
  4. Pemerhati suara burung dares .menyadarkan kita tentang datangnya malaikat maut.

    BalasHapus
  5. ini ngarang cerita
    saya ada info dikit tentang burung
    https://klinik-ghaib.blogspot.com/p/santet.html

    BalasHapus