Rabu, 22 Januari 2014

Perempuan Gandari



Meski pendhopo istana dikelilingi ksatria dan para brahma, namun sepi di ruang terbuka itu menyayat begitu dalam. Seolah bergelut dengan batin masing-masing, Astinapura tampak layaknya kuburan. Semua orang menutup mata atau bahkan pura-pura mati. Seolah tak ada lagi suara kehidupan yang mampu menembus sunyi di kerajaan itu. Senyap menghantui kerajaan itu sejak dibukanya Kurusetra.
            Gandari. Perempuan itu bangkit dari duduknya. Tubuhnya sempoyongan tak imbang. Berhari-hari ia tak tidur. Bayangan kereta dan derap-derap kuda membuatnya tiba-tiba terjaga pada malam hari. Kilatan panah di kejauhan pada siang hari membuatnya silau meski kedua matanya telah lama tertutup kain. Berkali-kali ia geser sari sutra yang menutup matanya karena air mata. Meski bertahun-tahun menutup mata dan berkali-kali menangisi ujian yang ia hadapi, belum pernah ia membasahi kainnya sedemikian kuyup. Pelan-pelan tangannya merambati dinding istana menuju tempat sembahyang. Ia duduk terpekur di depan dupa suci. Dadanya turun naik, tangannya menyimpuh gemetar. Gemetar bibirnya merapal kidung pujian dan doa-doa.
*
            Dewata, apa kesalahan yang telah hamba lakukan? sedemikian besarkah kesalahan yang pernah hamba perbuat hingga Kau mengganjarku cobaan yang sedemikian besar?
            Ya, hamba memang pernah menolak perjodohan dengan raja buta suami hamba. Tapi bukankah itu sangat wajar? Siapa perempuan yang mau bersuamikan lelaki buta sekalipun ia seorang raja, seorang kesatria sejati? Kebahagiaan apa yang akan kuperoleh dari suami buta? Dia tak pernah menjadi raja ataupun kesatria yang sebenarnya. Hamba pun tak pernah menjadi permaisuri yang sebenarnya. Apa yang kuharap dari kesatria buta? Kesatria yang tak menyentuh medan laga, tak pernah mengikuti perang? Namun hamba tahu, Kau telah menetapkan takdir hamba.
            Apa arti pesta besar tujuh hari tujuh malam untuk merayakan kebahagiaan hamba bersuamikan raja buta? Istana dihias sedemikian terang, bertirai sutra kencana. Ruangan penuh dupa melati dan aneka makanan. Dayang dan penari menyanyikan tembang dan tarian suka cita, seluruh rakyat berpesta tujuh hari tujuh malam, perwira dan prajurit berjaga siang malam. Dewata, hamba lalui pesta besar itu dengan mulut membisu dan air mata yang hanya mengisyaratkan kegelapan dunia hamba. Tak dapat hamba nikmati kegembiraan dan warna-warni itu. Sementara semua orang berpesta, hamba harus bergelut dengan awal kegelapan hamba. Hamba harus berselibat dari cahaya, dan harus berkawan dengan kegelapan yang harus hamba terima seumur hidup hamba.
            Ya, demi darma hamba maknai jalan gelap ini sebagai takdirMu. Hamba terima seluruh kegelapan ini. Setiap pagi membuka mata, hamba harus membuka takdir gelap hamba dengan menjadikan setiap detik dalam hidup hamba sebagai takdirMu.
            Ikhlas hamba menutup mata dari dunia yang serba gemilang itu. Menutup mata hamba dari megahnya kursi permaisuri, dari semua gemerlap kerajaan, kekayaan dan kemegahan istana yang seharusnya menjadi milik hamba. Hamba menutup mata dan menyatu dengan dunia buta suami hamba. Dunia gelap dalam gelimang kemewahan. Oh, Dewata, hamba melakukan semua itu dengan kebulatan tekad hamba atas takdirMu. Takdir yang tak satupun pernah hamba keluhkan beratnya.
            Dewata, dan Engkau memberi kami seratus kesatria. Dapatkah hamba ceritakan kebahagiaan hamba tatkala menerima bayi-bayi kesatria mungil itu di pangkuan hamba? Hamba yakin, tak pernah cukup air mata bahagia hamba untuk menuntaskan kebahagiaan yang hamba terima. Itulah kebahagiaan sejati yang hamba miliki dibanding semua perempuan di dunia ini.
            Ya, seratus kesatria. Adakah perempuan lain yang menyimpan seratus kesatria di rahimnya? Bahkan seluruh keturunan pandawa pun tak akan menandingi jumlah kesatria yang kumiliki. Sepenuhnya aku yakin semua ini adalah kehedakMu. Kebahagiaan yang menjadi buah dari ketabahanku menerima takdirMu.
            Oh Dewata, lalu mengapa Engkau menulis takdir gelap mereka di Kurusetra ini? Engkau telah melahirkan mereka ke dunia ini sebagai cahaya atas kegelapan takdirku. Mereka adalah suluh yang membuatku percaya akan kuasaMu, keadilanMu. Kau mencabut mata dan cahaya dari hidupku, dan menggantinya dengan seratus mata kesatria. Lalu mengapa mereka harus binasa di Kurusetra ini, Dewata? Mengapa Kau biarkan mereka membuka Kurusetra?
            Oh, Dewata, mereka lahir dari kebahagiaan yang selalu hamba pertanyakan selama ini. Hamba menanamkan kerianggembiraan pada diri mereka sekalipun mereka berayahkan seorang kesatria buta, kesatria yang tak bisa mengajari mereka busur, panah dan medan pertempuran. Mereka harus beribukan perempuan yang menutup matanya demi jalan darma. Ibu yang tak tahu apa-apa tentang pertempuran. Mereka tumbuh dari kegelapan kami, kecacatan kami. Maka bukan salah mereka bila mereka tumbuh sebagai kesatria yang cacat, kalap dan gelap. Kegelapan ini membuat kami merasa lemah tanpa daya. Tak mampu kami yang gelap dan lemah ini membesarkan mereka sebagai kesatria sebagaimana kesatria yang lain, yang paham darma dan seluk beluk kesatria di laga yang sesungguhnya. 
            Oh Dewata, hamba melahirkan mereka dalam kegelapan hamba, tapi lihatlah, mereka tumbuh sebagai kesatria yang sakti. Kami yang memaksa mereka menjadi kseatria sebagaimana para pendahulu kami, sebagaimana nenek moyang dan darah kami, sebagaimana cita-cita yang tak pernah dapat kami capai dalam hidup kami. Kami tanamkan dalam diri mereka darah kesatria sebagaimana anak-anak kesatria lain di kerajaan ini. Namun rupanya hanya keyakinan kamilah yang berwujud kesatria. Sedang kami sendiri, orang tua ini, hanyalah kesatria yang hanya paham jalan darma, bukan jalan kesatria yang sesungguhnya. Maka bukan salah mereka tumbuh sebagai kesatria yang merusak, membuka Kurusetra menjadi genangan darah. Semua salah hamba yang telah melahirkan dan membesarkan mereka. Salah kami yang telah membulatkan hati mereka bahwa mereka adalah kesatria sejati yang harus bertempur di medan laga. Bukan salah mereka oh, Dewata! Maka  hukumlah aku!! hukumlah aku seberat-beratnya! Tapi jangan hukum mereka!! Mereka hanya anak-anak yang besar dari kecacatan kami!
            Oh Dewata, dengan keadilanMu, dengan kuasaMu hamba memohon, ampuni mereka. Bukan salah mereka menjadi durhaka, menjadi pendosa. Bukan salah mereka. Hukum aku, Dewata!! Hukum hamba seberat-beratnya! Hamba akan menerimanya. Mereka hanyalah anak-anak yang belajar dari kegelapan kami, dari keterbatasan kami. Kami terlalu lupa, bahwa anak-anak itu berada pada sisi jalan terang di dunia ini. Namun yang kami lakukan justru menggelapkan diri kami dengan dunia buta yang kami jalani, dan melepas mereka ke medan laga. Kami tanamkan secara paksa bibit kesatria pada diri mereka. Dan anak-anak itu, mereka terlalu muda untuk memahaminya. Maka hukum aku, Dewata! Hukumlah hamba tapi jangan Kausakiti mereka!
            Parau suara Gandari nyaris tak terdengar. Tangisnya pecah menjadi sunyi di tenggorokan. Air matanya menderas, lalu sunyi memanjang dalam ruangan.
            Lama Gandari mematung, diam bersimpuh di depan api suci. Tubuh dan bibirnya gemetar. Air mata membasah di kain penutup matanya. Ingin rasanya ia campakkan kain itu. Namun tubuhnya terlampau lelah oleh kesedihan. Ia merasa bodoh dengan doanya. Ditariknya nafas dalam-dalam dan diembuskannya dengan berat.
            Dewata, Kau telah menguji hamba dengan berbagai macam takdir. Tak ada seorang perempuan pun yang mampu melewati ujian ini kecuali hamba. Hanya sekali ini saja hamba meminta kepadaMu. Lindungi anak-anakku. Jagalah mereka di Kurusetra. Hamba percaya darma seperti halnya hamba percaya pada Mu. Jalan darma harus ditegakkan. Anak-anakku adalah kesatria sejati. Mereka menjalankan darma di Kurusetra.
            Gandari berhenti berdoa. Tangisnya tak lagi luruh menggebu-gebu meski hatinya masih memberat. Dikuatkannya tali kain penutup matanya yang mengendur karena emosi tak terkendali. Dibenahinya baju dan kerudung sari dengan hati yang masih nganga terluka. Berlahan ia berjalan mengendap menuju pendapa, tempat suami dan yang lainnya menunggu berita dari Kurusetra.
*
            Matahari bergeser ke barat daya. Suara terompet terdengar di kejauhan. Tak lama kemudian langkah kuda berderap terburu memasuki gerbang istana. Seorang kurir perang menghadapkan sembah. Jantung Gandari berdegup kencang. Dalam hati ia mengeja satu persatu nama anak-anaknya.
            Nama siapa yang akan disebut oleh kurir perang ini? satu persatu wajah anak-anaknya membayang di pelupuk matanya yang kembali berair. Dewata, inikah jalan darma yang harus kutempuh? Benarkah Kurusetra akan membinasakan anak-anakku?
            Ingin sekali ia menutup telinganya agar menjadi tuli dan tak mendengar apa-apa lagi, karena ternyata tak cukup baginya menutup mata seumur hidup untuk memahami jalan darma. Tak pernah cukup…
Rumah Ladam, Juni 2012
Dicatat oleh buletin Pawon edisi September 2013

Minggu, 19 Januari 2014

Puisi Solopos, 19 Januari 2014



Desember

Hujan setajam parut tanpa kemudi
Memuara bejana laut menadah sunyi

Lagu nun meramu lamun
Kau mengendap di kedap sepi
Mengasah khotbah-khotbah seribu janji

Mungkin angin hendak menjaring sayapmu basah
Dan kusimpan dering suaramu resah
Dalam memorabilia angka masehi

Matahari menjelma udara
yang melukis langit seribu rasi
Cahaya di ujung kalender yang kian menepi

Desember,
Dan bunga-bunga pun mekar
Dalam getar gitar yang berkelana
Di sepanjang jangkar dan kerangka angka
                                    Rumah Ladam, 29102012/19.11


Sebuah Pagi di Kaki Merapi

Dari celah tanah ataukah jari api,
Kabut ini lahir menyentuh hari?
Dari hijau sawah ataukah legam matahari,
Embun bratawali mengalir
teluh bagi kidung-kidung petani

Gadis kecil berlari-lari ke sendang,
Membayangkan bening lautan tanpa garam
Anak-anak lembu lepas di padang.
Ataukah pada sepi nyanyi
Para penjagal sapi, kuas ini harus diakhiri?

Lukisan telah sempurna
Sepasang api bersiaga
Kulampirkan kaki dan tangan anak-anakku,
Lava yang kelak menjaga tanahmu
Menjadi kehidupan, menawar kematian
Dari sanalah aku akan terlahir kembali,
Dalam reinkarnasi yang paling suci.
                                             Rumah Ladam, Medio 2012

Jumat, 17 Januari 2014

Antologi 127 Penyair : Dari Sragen untuk Indonesia - Desember 2012



Di Sangiran
Sekali ini, kita seperti besi kendali
Memapah pedati melewati jembatan zaman
Kayu jati pelepah pandan
Menjadi saksi babad baru yang terburu

Kita seperti relung catatan yang bergerak
dalam tetulang. Tubuh yang telah membatu,
yang selalu mereka reka
kapan kita mampu berjalan membabat hutan
dengan raut gelombang pasang
Atau juga ketika menjemput takut ke dasar laut.

Kini kita karam dalam peti kaca yang  baka ini
yang telah menjadi rumah bagi sejarah yang singgah
di tubuh-tubuh beku, sirap-sirap masa lalu.

Betapa panjang perjalanan ini
Betapa lelah langkah kaki
Segera, bawa aku ke tanah leluhurku…


Manusia Purba
Ia percaya, di tapal batas mantra yang dirapalnya
Adalah doa yang berkelindan dari ketakutan
Pada bebatu yang menjadi muasal kelahiran
Pada laut yang menjadi muara kematian

Ia percaya pada darah pemburu yang mengalir di tubuhnya
Adalah resapan segala sungai yang menolak menjadi lerai
Sedang derai yang menjelma ngarai yang telah ia sanggupkan jelajahnya
Tak pernah ia tahu,
Dirinya adalah tadah bejana yang menjadi cikal makhluk sempurna.
Dengan lengannya yang baja, ditatahlah sejarah manusia.

Antologi 200 Indonesian Poet Shell Jagat Tempurung - November 2012




Kereta Hujan
Kereta bergerak menuju hujan yang mulai sumbang
Dari curahnya di jendela kaca mengalir air mata
Sepikah itu?
Yang tersesat di depan pintu?

Kereta berjalan menuju hujan biru
Adakah itu ragu?
yang berdegub menunjuk waktu
Menyeret angan ke ambang lagu?

Kereta ini akan berhenti di ujung hujan
Ketika hujan benar-benar usai
Ketika badai benar-benar  tunai
Di sini akan kubangun sebuah jembatan
Tempat aku selalu menujuMu
Di sisi hujan dan pelangi
Di sisi hutan dan mentari