Minggu, 02 Maret 2014

Serimpi Sangopati



Rara Ireng menatap sekali lagi merah cermai yang lekat di bibirnya. Dipatutnya bayangan pada cermin lonjong di depannya. Sebelumnya ia tak pernah membayangkan tubuh dan rupanya akan sesempurna itu. Ia nyaris tak percaya bayangan itu adalah dirinya.
Ia pernah pergi ke tengah kali dan menatap parasnya. Air bergelombang ketika gethek yang ditumpanginya berjalan pelan menyibak riak sungai yang kecoklatan. Sesekali ikan cucut mengikuti bayangannya, seolah mengolok rupanya yang sawo matang. Pada sekilas guratan air yang bergelombang itu, ia menemukan dirinya.
Tapi di depan cermin lonjong malam itu, ia hampir tak dapat mengenali dirinya. Kulitnya berubah menjadi kuning langsat setelah aneka lulur diborehkan selama ia tinggal di keputren ini. Ia merasa asing dengan bayangan itu. Di pantulan bayangan cermin ia kehilangan wajahnya, kehilangan rupa yang selama bertahun-tahun dimilikinya.
Ia membenahi sanggulnya. Bokor mengkureb itu sungguh berat memasung kepala hingga lehernya. Dengan sanggul ini, kau tak bisa bergerak sembarangan. Sanggul ini akan menjadi kekuatanmu, kata mbah Yayi. Dua bulan penuh ia berlatih menari pada mbah Yayi di pendopo keputren keraton. Itu bukan hal ringan. Ia bersama tiga anggota telik sandi lain ditugaskan untuk mengikuti latihan menari Serimpi untuk menyambut kedatangan sang gupermen kumpeni.
Bergeraklah dengan pikiranmu, jangan hanya menggerakkan tubuhmu. Biarkan gamelan membawa  jiwamu. Bergeraklah dengan pelan, ringan, gemulai seperti mimpi. Bawalah tuanmu menuju mimpi. Itulah tujuan Serimpi, kata mbah Yayi lagi, menjawil ujung dagunya. Jangan lupa tersenyum.
Pentas tari adalah  rahasia yang harus ia penuhi malam itu. Nyali benar-benar diuji. Tak seperti tugas-tugas biasanya ketika ia menjadi kesatria, menjadi mata-mata, pemburu atau bahkan pembunuh. Kali ini ia menjadi penari. Jelas ia tak akan mengenakan topeng penutup muka. Kini ia adalah tombak, perisak yang langsung menghadang sasaran. Ini adalah kali pertama ia harus percaya pada kelemah-lembutan dalam menghadapi lawan. Tugas berat itu langsung diperintahkan Kanjeng Sinuhun padanya. Berbulan-bulan ia menatah diri menjadi perempuan lembut sempurna dalam balutan gemulai tari agung putri kahyangan.
Rara Ireng menarik nafas dalam-dalam. Dadanya berdebar. Kelonengan gamelan di pendopo keraton mulai dimainkan. Sekali lagi dipatutnya kaca. Centhung, garudha mungkur, sisir jeram sa’ajar dan cundhuk menthul masih terpasang apik di sanggulnya. Ia merasa terlalu berlebihan. Namun ia tahu, bedak kuning yang dipasang di mukanya memang untuk menyembunyikan dirinya. Menyembunyikan jati dirinya. Menjadi diri yang tak dikenali.
Tak ada yang tak kenal Rara Ireng. Anggota telik sandhi yang telah dikenal karena ketangguhan dan keberaniannya. Parasnya akan mudah dikenali kaum kumpeni. Pupur kuning temanten itu akan mengaburkan semuanya.
Gamelan berkeloneng merdu. Barisan abdi dalem duduk bersimpuh menunggu Kanjeng Sinuhun. Rara Ireng menghaturkan sembahnya takzim. Abdi dalem membawa bokor berisi air kembang, mengharap keselamatan dan keberhasilan. Sinuhun berjalan menuju pendopo utama. Dengan tangan menyembah, Rara Ireng berjinjit mengikut di belakang.
*
 Aku tak membayangkan pendopo akan sewingit ini. Ruangan menjadi lebih terang. Niyaga khidmat menabuh gamelan. Nada yang lamat-lamat terdengar menyayat. Aroma kamboja menyengat ruangan. Ini adalah misi besar yang harus terlaksana. Upaya ini harus berhasil, Kanjeng Sinuhun harus bisa menyelamatkan pantai pesisir utara dari tangan serakah Belanda. Dan demi itulah aku berada di sini. Menjadi garis depan. Pesisir utara adalah tanah air tempat segala cintaku bermula. Apapun bisa terjadi hari ini. Senjata yang kusemat ini akan menjadi bekal ketika semua harus berakhir tak sesuai rencana. Tak ada lagi permainan. Peluru pun siap ditembakkan. Aku harus mengasah kesabaran. Inilah harga mahal untuk kemerdekaan.
Panji-panji perang tegak berjajar di tepi ruangan. Semoga kumpeni merah itu tak peduli makna panji-panji ini. Aku tersentak. Benar-benar kurang ajar cindhil raksasa ini. Mereka duduk sejajar dengan Kanjeng Sinuhun!! Kalau bukan demi misi ini pasti sudah kugorok leher mereka yang gendut berlipat itu dengan cundrik. Tapi aku sadar, kesombongan mereka memang harus ditaklukkan. Dan untuk itulah aku berada di sini. Mengelabui makhluk merah itu dan menanggalkan keserakahan mereka.
Lembut suara gamelan memenuhi ruangan. Gaungnya membawa siapa saja pada bayangan surga. Dadaku berdegub kencang. Akankah Serimpi Sangopati ini benar-benar menjadi jalan kematian? Aku menghayati alunan lembut itu. Senyum manis harus segera kurekahkan. Senyum yang melambangkan api yang beterbangan dalam diri manusia. Keserakahan dan kesombongan mereka harus ditumbangkan. Kini aku tahu, mengapa aku harus merias diri sedemikian rupa untuk tarian ini. Karena itulah satu-satunya hal yang dapat menjadi pembeda. Aku harus bisa melepas diriku sendiri dan benar-benar menjadi penari. Pupur tebal yang mengelabui diriku sendiri. Mungkin juga akan mengelabui mautku. Juga para kumpeni itu. Mereka tak boleh tahu arti semua ini. Mereka tak boleh tahu siapa aku, anggota telik sandhi yang biasa menyusup ke sarang mereka.
Gayatri menangkap keresahanku dengan siaga. Dialah yang menjadi angin dalam pementasan ini. Serimpi Sangopati. Drama sederhana tentang pertarungan. Sebuah peperangan yang dilakukan dalam gerak halus gemulai suargaloka. Drama pertarungan manusia menuju mimpi sebelum menghadapi kematian.
Dengung gong lembut bergema membawa angan ke dunia yang tak terjamah. Dunia abstrak Serimpi Sangopati. Benar nasehat Mbah Yayi, biarkan musik membawa diri untuk menari. Aku mengikuti arus itu, partitur nada yang menggerakkan raga begitu saja. Aku berekstase, menerbangkan para kumpeni ke alam mimpi.
Api, tanah, air dan angin dalam tarian ini menembus ruang mata para kumpeni yang nganga larut dalam kelembutan. Gerak agung ini pun menyihirku. Berkali-kali takjub mataku menyaksikan cindhe kembang ungu tua yang kami kenakan bermekaran. Di ambang cahaya yang semakin temaram, kembang-kembang itu merekah segar. Mereka hidup, menawarkan mimpi ungu surgawi dalam balutan perang berselubung gemulai tari.
Arak pun mengisi ruangan. Inilah hidup yang sebenarnya, mampir ngombe. Dan inilah hidup yang sebenarnya bagi kami, panggung halus yang merasuk tulang belakang. Kami akan pertahankan tanah kelahiran kami. Cindhil merah itu terus menenggak arak ketan ke mulut mereka yang lebar. Beberapa kali roncean tiba dhadha tersibak, menebarkan wangi yang gaib. Aroma kematian. Aku tergigil dalam tarian. Musik bergelombang pelan. Angin berhembus dingin menerbangkan harum melati, kantil dan kamboja, mengalahkan aroma kecut ragi ketan di cawan-cawan yang tak henti mereka telan.
Entah pada nada ke berapa, gamelan menaikkan dan mempercepat bunyi,. tubuhku mulai mengkilap oleh keringat. Gerak gemulai ini menghabiskan energi yang setara dengan seratus kali tikaman belati. Duduk, berdiri dan berputar berlahan seperti api yang tenang membakar. Seperti angin jahat yang perlahan menerbangkan nafsu duniawi, seperti menggali tanah sebelum mengubur diri sendiri, seperti berenang melawan arus seribu pusar air di kedalaman. Tubuhku lelah, gamelan sendu terus mengalun.
Kukibaskan sampir putih hingga jatuh ke pangkuan. Sampir putih yang menjadi bukti ketulusanku mengabdi pada negeri ini. Aku mengatur nafas menolak lelah, tak sedetikpun aku boleh lengah. Aku terus menari.
Mata para kumpeni itu mulai memerah. Hanya cawan arak dan tuak itulah yang mengalihkan pandangan mereka dari pentas. Selebihnya, mata itu menatap kami dari kepala hingga ujung kaki. Jemparing, jebeng, pistol dan cundrik tersimpan rapi di lipatan kain. Kami harus terus bersiaga. Sesekali senjata itu tergenggam dalam adegan tarian, dan lagi-lagi kami harus menahan diri dari kepungan mata laknat kumpeni. Kami harus bisa mengelabui kumpeni dengan siasat ini.
Para kumpeni dan Kanjeng Sinuhun telah membahas perjanjian. Perjanjian perihal kedudukan pantai pesisir utara dan hutan-hutan jati di sekitarnya. Kupasang telinga dan mata bersiaga. Arak dan tuak sudah bekerja. Suasana mulai gempita. Para kumpeni  tertawa-tawa. Aroma keringat mereka menguar ke udara. Bacin, kecut, seperti aroma keju campur cerutu. Waktu berjalan lamban. Aku yakin tak ada yang sia-sia. Aku percaya pada rencana yang telah dititahkan Kanjeng Sinuhun.
Gamelan terus melantun. Sesaat sunyi mencekam, kawanan buto bule itu pun menandatangani kertas perjanjian. Cawan tuak kosong berserakan. Kanjeng Sinuhun mengerdipkan mata pada niyaga. Gamelan kembali menggema. Sesekali tawa mereka meledak memenuhi ruangan. Kanjeng Sinuhun tersenyum. Cita-cita telah tercapai. Kami berhasil menaklukkan mereka dalam perang yang gemulai tanpa pertumpahan darah. Pertunjukan usai. Kami bersimpuh duduk tegak takzim di pinggir ruangan, mengatur nafas lelah agar tak terdengar. Letih luar biasa. Inilah sebenarnya pertarungan kesatria perempuan.
Kanjeng Sinuhun telah menyiapkan kereta kencana dengan dua kuda putih di halaman. Sambil tertawa mereka berjalan sempoyongan, bersender di saka guru dan tatal pendopo. Tubuhnya doyong hampir rubuh. Beberapa prajurit jaga membantu mereka memasuki kereta. Mereka menyanyikan lagu berbahasa Belanda dengan nada sumbang. Kanjeng Sinuhun berjalan ke depan, melepas tamu-tamu hingga hilang dari pandangan.
*
Rara Ireng membawa kudanya berlari menempuhi riak-riak ombak di sepanjang pantai utara. Ia berhenti di ambang pantai. Dituntunnya Ireng, kudanya yang hitam mengilat gagah berani. Berdua mereka berjalan beriringan di sepanjang pantai. Ditatapnya pasir pantai yang lolos dari cengkeraman kaum kumpeni. Inilah Pesisir yang ia pertahankan dengan gemulai pusaka agung tarian perang beberapa bulan yang lalu agar tak jatuh ke tangan penjajah.
Ditatapnya bulan sabit yang menghias langit. Sesaat lagi fajar merah akan merekahkan pantai. Ia menangkupkan telapak tangan untuk bersemadi. Dari arah selatan terdengar derap-derap kuda melaju. Ditajamkannya pandangan dan pendengaran. Gerombolan kuda itu tak berbendera, tak berpanji. Alis hitamnya segera menaut demi melihat penunggang kuda yang melaju ke arahnya. Seketika dicabutnya cundrik dari lipatan baju. Cundrik hadiah dari Kanjeng Sinuhun setelah pementasan. Ia tahu, makhluk-makluk merah yang serakah itu akan mengkhianati perjanjian.
Rumah Ladam, Januari 2014
Dicatat dalam Koran Tempo, 2 Maret 2014

Gethek : rakit dari bambu
Bokor mengkurep : jenis sanggulan rambut
Abdi dalem : pegawai istana
Bokor : bejana tempat air
Wingit : keramat
Niyaga : pemusik gamelan
Cindhil : anak ikus yang masih merah
 Cundrik : keris kecil
Cindhe kembang : salah satu jenis motif batik
Mampir ngombe : mampir minum, falsafah hidup orang jawa memahami hakikat hidup di dunia
Tiba dhadha : roncean kembang melati yang biasanya digunakan para pengantin, disampirkan di bagian samping dada
Jemparing : panah
Jebeng : tombak pendek
Buto : raksasa jahat
Saka guru : tiang rumah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar