Segala sesuatu yang diciptakan
manusia selalu menuju kesederhanaan. Kesederhanaan adalah bentuk paling
sempurna (Alessandro Dumas).
Ambiguitas Definisi
Dua
kekuatan Dian Hartati (DH) dalam puisi-puisinya adalah kesederhanaan dan imajinasi.
Cerita yang sebenarnya kecil, jamak, lekat, dekat dan terlihat, namun digambarkan
dengan imajinasi tak biasa. Imajinasi yang terasa ringan tanpa beban, jenaka,
ceria, tidak sentimentil, tidak satir dan tidak menyindir, tanpa mengurangi nilai-nilai
yang disampaikan. Puisi yang tidak berlebihan, tepat porsi dan sarat gizi.
Semula
saya berpikir puisi adalah sebuah karangan terikat sebagaimana definisi yang
telah ditanamkan oleh guru-guru jaman kita sekolah dulu, dituliskan dalam
buku-buku materi pembelajaran sastra dan bahasa Indonesia, dan bahkan secara
resmi tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kurang lebih disebutkan
dalam definisi tersebut bahwa puisi adalah karangan yang terikat oleh rima,
matra, penulisan bait, dan gubahan serta larik-lariknya. Semua ada aturannya.
Bunyi, jumlah, diksi, persajakan dan semua kerumitan-kerumitan itu.
Semakin
mempelajari dan membaca puisi dan berbagai literatur, yang saya temui adalah
ambiguitas. Sedikit demi sedikit akhirnya saya harus melepas definisi. Beberapa
puisi dan penyair masih bertahan dengan “ikatan-ikatan” puisi. Bahwa rima,
nada, diksi dan jumlah suku kata merupakan elemen yang tetap “melekat” pada
puisi.
Saya
sendiri sedikit menulis puisi, dan sulit
melepas apa yang kadung rekat dalam benak saya tentangnya. Definisi dan perkembangan
puisi yang sangat luas dan berubah-ubah secara subjektif inilah yang sering
menjadikan saya terus bertanya, apa definisi yang paling tepat dari puisi.
Sebagian besar penyair modern membebaskan puisi dari ikatan-ikatan. Sebagian
lagi masih merasa perlu mempertahankan kestabilan definisi. Semua soal
subjektifitas. Dan memang, subjektifitas inilah yang menjadi kekuatan puisi.
Begitu utuh, multitafsir. Hingga akhirnya saya membaca Upacara Bakar Rambut
(UBR) ini.
Mendongkrak Definisi, Menyusun
Keabstrakan
Ini
bukan hal yang mudah, melepaskan puisi dari ikatan-ikatan sebagaimana galibnya
puisi yang telah kita kenali, yang telah menjadi kesepakatan dan telah tercatat
secara resmi di lembaga kebahasaan. Inilah yang menjadi kekuatan besar DH. DH
menyuguhkan kebebasan. Ia membebaskan setiap kata dalam puisinya menyusun
imajinasinya sendiri. Dan tentu saja, untuk semua itu, selalu ada yang
dipertaruhkan. Mengabaikan matra, melepaskan sajak, dan membebaskan rima,
merupakan kerja besar penuh resiko, karena notabene semua itu elemen penting
puisi. Dan DH membuktikan semua itu dengan menyusun kekuatan yang lebih besar
dari puisinya : imajinasi.
DH
seolah tidak tidak perlu berburu kata-kata puitis, persajakan, menggali-gali
kata, fakta, ataupun upaya-upaya yang biasa dilakukan penyair demi “panggung
baca” yang indah, demi gaung yang tepat untuk lekat di hati pembaca, demi performance dengar yang menghanyutkan.
DH
membangun imajinasi justru ketika kata benar-benar terbebas. Kata menjadi kebas
dari semua definisi yang dituntutkan puisi. Dan semua itu secara total dimulai
dari awal, dari judul yang ditampilkan. Dapatlah kita cermati kembali judul-judul
dalam buku puisi ini : Ikan yang Pusing,
Laut Telah Pindah Rumah, Keluarga Spora, Rasa Bumbu Kuning, Malam-malam
Menyeberang di Laut, dst. Subjektif saya katakan, untuk ukuran puisi, ini
bukan judul yang puitis apalagi romantis. Namun puisi ini telah membuktikan panggung
yang dibentuknya sendiri. Imajinatif. Saya akan mengambil satu sampel puisi
yang cukup mewakili untuk ulasan ini.
Ikan
yang Pusing
pagi-pagi sekali pasar kudatangi
sepi tak ada peminat
hanya ombak yang bergulungan
menyampaikan buih sampai di pijakan
memang tak ada angin
tapi, ombak berlarian mempermainkan
ikan-ikan
aku mencari daratan yang lain
barangkali saja pedagang pindah tempat
sebab pasar jadi laut
dan laut pindah ke tengah kota
aku mendengar orang-orang berbisik
ramai sekali
seperti angin yang mengikuti
banyak mata di belakang
aku rasa itu mata ikan
Menganggap aku nelayan yang punya umpan
segera aku berbalik
banyak patung ikan muncul di lautan
ombak kian mengganas
ombak menyeret nyawa-nyawa
termasuk ikan
dan aku memilih menu yang lain
Kalau
boleh saya membayangkan tentang peristiwa yang disampaikan dari puisi di atas
adalah peristiwa alam yang besar. Peristiwa hebat yang menyangkut nyawa dan
keselamatan manusia. Namun dalam puisi tersebut penyair menggambarkan dengan cara
yang ringkas, dengan potret abstrak yang sederhana. Kita seperti disodori
mozaik gambar yang diterjemahkan secara pendek saja: pergi ke pasar, orang-orang
ribut, dan air laut meluap. Begitu sederhana dan simple saja. Sementara peristiwa
yang sebenarnya terjadi sangatlah heboh, setidaknya banjir bandang atau tsunami.
Air
laut yang pasang, manusia terancam hanyut, dan keadaan yang demikian genting. Semua
itu diungkapkan dengan partitur datar, seolah penyair membawa kita untuk
membayangkan peristiwa biasa yang terjadi sehari-hari, yang bisa diungkap
dengan bahasa lisan yang diungkapkan pada mitra bicara secara dekat. Tanpa sajak,
tanpa rima, tanpa aturan paten puisi. Dengan gambar puzzle sederhana yang acak,
dan seolah tidak saling berhubungan. Puisi yang mengungkapkan hal besar dengan begitu
sederhana namun lugas. Puisi DH ini mengantarkan saya pada kesadaran: tidak perlu
bertele-tele dalam mengungkapkan sesuatu yang besar. Puisi-puisi yang
dilahirkan untuk menceritakan sesuatu (musibah, dalam puisi ini) dengan cara
yang tabah, ringan saja. Puisi yang easy
come easy go. Tidak menuntut, dan tidak memaksa pembaca dengan kata-kata
puitis yang berat dan butuh perenungan lebih dalam untuk memahaminya.
Kejenakaan yang Magis
Dengan
kesederhanaan imajinasi ini pada akhirnya memunculkan keriangan-keriangan kecil.
Kebahagiaan yang terselip dalam puisi, apapun tema yang ditampilkan. Puisi-puisi
DH mampu menampik rasa duka, sentimentil, atau pula rasa haru dari kisah yang
disampaikan dalam puisi, dari kisah sehari-hari yang dituangkan dalam puisi.
Ini tidak mudah, menciptakan warna yang ceria dari hal-hal yang mengharukan
dalam bentuk puisi.
Hal
ini muncul juga pada beberapa puisi yang bercerita tentang kematian, tentang
kepergian seorang terkasih yang ada pada judul Aku Mencintaimu Bersama Kematian yang Datang, Begitu Aku Berbisik di
Telingamu, Menghapusmu, Kes.., Berjalan di Bawah Keranda, dan yang paling lucu
adalah puisi Wangi Bunga yang Mengikuti,
lagi-lagi saya berhadapan dengan kebebasan itu, dengan imajinasi-imajinasi konyol
itu, dengan kepingan-kepingan puzle yang terpotong acak itu, dengan kejenakaan
itu. Kematian, yang seharusnya merupakan hal yang sacral dan pahit, tiba-tiba
kita disajikan pada kekonyolan tingkah manusia yang menanggapinya, dan DH
menulis dengan gambar simple saja. Dengan diksi ringan tanpa mengurangi emosi
puisi. Kita bisa menikmati perasaan sentimentil, duka dan ke-belum-relaan
perasaan ditinggalkan oleh kekasih yang meninggal.
Sedikit
saya nukilkan puisi Wangi Bunga yang
Mengikuti:
saat aku mencuci baju,
wangi bunga datang lagi
kau tahu, ini kali pertama
aku mencuci tanpa bajumu
(Wangi
Bunga yang Mengikuti)
Aneh memang, kata atau lebih tepatnya
kegiatan mencuci baju masuk dalam
diksi dan bahkan fragmen sebuah puisi. Tapi toh
saya terharu juga. Toh saya
tersenyum juga. Dan inilah yang saya sebut sebagai magis itu. Ketika dengan diksi
yang sederhana, lugu, ringan, santai dan lekat dengan kehidupan sehari-hari,
penyair mampu menggali perasaan dan keterharuan pembaca. Puisi yang mampu
menghadirkan perasaan sentimentil, romantika, kronik, dalam kegiatan atau
ungkapan sederhana. Saya pikir itu bukan hal yang mudah, apalagi menjadikannya dalam
bentuk puisi. Dan ini terjadi pada rataan puisi dalam buku ini. Dan ini membuat
saya semakin percaya, bahwa terlepas dari karya sastra, kejenakaan adalah
unsure utama kecendekiaan.
Tidak
banyak penyair yang bisa melakukan ini, yang secara gembling melepaskan puisi
dari ikatan-ikatan definisi. Melepaskan puisi dari tuntutan yang mengikatnya. Puisi
yang diksi dan kata-katanya tidak sentimentil, yang kata-kata di dalamnya
membebaskan diri untuk menyusun ceritanya sendiri, dan membiarkan kata-kata
berkembang menyusun fragmen tanpa penyair harus menyelaraskan aksi panggung
pembaca.
Puisi,
dengan segenap kekuatan dan kelemahannya mengajak pembaca untuk berkelana menjajagi
bentuk kata dan imajinasi. Puisi sebagai refleksi diri. Puisi sebagai rahim
dari keresahan yang lahir oleh waktu. Bahwa dengan puisi, seorang penyair harus
dibebaskan, bukan dikekang. Bahwa dengan puisi, seorang penyair dan pembaca
dapat merasa bahagia. Buku UBR ini telah membuktikan kepada saya tentang itu semua.
J
Karisma Fahmi Y
Ditulis untuk Festival
Sastra Solo, 22-23 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar