Minggu, 02 Maret 2014

Serimpi Sangopati



Rara Ireng menatap sekali lagi merah cermai yang lekat di bibirnya. Dipatutnya bayangan pada cermin lonjong di depannya. Sebelumnya ia tak pernah membayangkan tubuh dan rupanya akan sesempurna itu. Ia nyaris tak percaya bayangan itu adalah dirinya.
Ia pernah pergi ke tengah kali dan menatap parasnya. Air bergelombang ketika gethek yang ditumpanginya berjalan pelan menyibak riak sungai yang kecoklatan. Sesekali ikan cucut mengikuti bayangannya, seolah mengolok rupanya yang sawo matang. Pada sekilas guratan air yang bergelombang itu, ia menemukan dirinya.
Tapi di depan cermin lonjong malam itu, ia hampir tak dapat mengenali dirinya. Kulitnya berubah menjadi kuning langsat setelah aneka lulur diborehkan selama ia tinggal di keputren ini. Ia merasa asing dengan bayangan itu. Di pantulan bayangan cermin ia kehilangan wajahnya, kehilangan rupa yang selama bertahun-tahun dimilikinya.
Ia membenahi sanggulnya. Bokor mengkureb itu sungguh berat memasung kepala hingga lehernya. Dengan sanggul ini, kau tak bisa bergerak sembarangan. Sanggul ini akan menjadi kekuatanmu, kata mbah Yayi. Dua bulan penuh ia berlatih menari pada mbah Yayi di pendopo keputren keraton. Itu bukan hal ringan. Ia bersama tiga anggota telik sandi lain ditugaskan untuk mengikuti latihan menari Serimpi untuk menyambut kedatangan sang gupermen kumpeni.
Bergeraklah dengan pikiranmu, jangan hanya menggerakkan tubuhmu. Biarkan gamelan membawa  jiwamu. Bergeraklah dengan pelan, ringan, gemulai seperti mimpi. Bawalah tuanmu menuju mimpi. Itulah tujuan Serimpi, kata mbah Yayi lagi, menjawil ujung dagunya. Jangan lupa tersenyum.
Pentas tari adalah  rahasia yang harus ia penuhi malam itu. Nyali benar-benar diuji. Tak seperti tugas-tugas biasanya ketika ia menjadi kesatria, menjadi mata-mata, pemburu atau bahkan pembunuh. Kali ini ia menjadi penari. Jelas ia tak akan mengenakan topeng penutup muka. Kini ia adalah tombak, perisak yang langsung menghadang sasaran. Ini adalah kali pertama ia harus percaya pada kelemah-lembutan dalam menghadapi lawan. Tugas berat itu langsung diperintahkan Kanjeng Sinuhun padanya. Berbulan-bulan ia menatah diri menjadi perempuan lembut sempurna dalam balutan gemulai tari agung putri kahyangan.
Rara Ireng menarik nafas dalam-dalam. Dadanya berdebar. Kelonengan gamelan di pendopo keraton mulai dimainkan. Sekali lagi dipatutnya kaca. Centhung, garudha mungkur, sisir jeram sa’ajar dan cundhuk menthul masih terpasang apik di sanggulnya. Ia merasa terlalu berlebihan. Namun ia tahu, bedak kuning yang dipasang di mukanya memang untuk menyembunyikan dirinya. Menyembunyikan jati dirinya. Menjadi diri yang tak dikenali.
Tak ada yang tak kenal Rara Ireng. Anggota telik sandhi yang telah dikenal karena ketangguhan dan keberaniannya. Parasnya akan mudah dikenali kaum kumpeni. Pupur kuning temanten itu akan mengaburkan semuanya.
Gamelan berkeloneng merdu. Barisan abdi dalem duduk bersimpuh menunggu Kanjeng Sinuhun. Rara Ireng menghaturkan sembahnya takzim. Abdi dalem membawa bokor berisi air kembang, mengharap keselamatan dan keberhasilan. Sinuhun berjalan menuju pendopo utama. Dengan tangan menyembah, Rara Ireng berjinjit mengikut di belakang.
*
 Aku tak membayangkan pendopo akan sewingit ini. Ruangan menjadi lebih terang. Niyaga khidmat menabuh gamelan. Nada yang lamat-lamat terdengar menyayat. Aroma kamboja menyengat ruangan. Ini adalah misi besar yang harus terlaksana. Upaya ini harus berhasil, Kanjeng Sinuhun harus bisa menyelamatkan pantai pesisir utara dari tangan serakah Belanda. Dan demi itulah aku berada di sini. Menjadi garis depan. Pesisir utara adalah tanah air tempat segala cintaku bermula. Apapun bisa terjadi hari ini. Senjata yang kusemat ini akan menjadi bekal ketika semua harus berakhir tak sesuai rencana. Tak ada lagi permainan. Peluru pun siap ditembakkan. Aku harus mengasah kesabaran. Inilah harga mahal untuk kemerdekaan.
Panji-panji perang tegak berjajar di tepi ruangan. Semoga kumpeni merah itu tak peduli makna panji-panji ini. Aku tersentak. Benar-benar kurang ajar cindhil raksasa ini. Mereka duduk sejajar dengan Kanjeng Sinuhun!! Kalau bukan demi misi ini pasti sudah kugorok leher mereka yang gendut berlipat itu dengan cundrik. Tapi aku sadar, kesombongan mereka memang harus ditaklukkan. Dan untuk itulah aku berada di sini. Mengelabui makhluk merah itu dan menanggalkan keserakahan mereka.
Lembut suara gamelan memenuhi ruangan. Gaungnya membawa siapa saja pada bayangan surga. Dadaku berdegub kencang. Akankah Serimpi Sangopati ini benar-benar menjadi jalan kematian? Aku menghayati alunan lembut itu. Senyum manis harus segera kurekahkan. Senyum yang melambangkan api yang beterbangan dalam diri manusia. Keserakahan dan kesombongan mereka harus ditumbangkan. Kini aku tahu, mengapa aku harus merias diri sedemikian rupa untuk tarian ini. Karena itulah satu-satunya hal yang dapat menjadi pembeda. Aku harus bisa melepas diriku sendiri dan benar-benar menjadi penari. Pupur tebal yang mengelabui diriku sendiri. Mungkin juga akan mengelabui mautku. Juga para kumpeni itu. Mereka tak boleh tahu arti semua ini. Mereka tak boleh tahu siapa aku, anggota telik sandhi yang biasa menyusup ke sarang mereka.
Gayatri menangkap keresahanku dengan siaga. Dialah yang menjadi angin dalam pementasan ini. Serimpi Sangopati. Drama sederhana tentang pertarungan. Sebuah peperangan yang dilakukan dalam gerak halus gemulai suargaloka. Drama pertarungan manusia menuju mimpi sebelum menghadapi kematian.
Dengung gong lembut bergema membawa angan ke dunia yang tak terjamah. Dunia abstrak Serimpi Sangopati. Benar nasehat Mbah Yayi, biarkan musik membawa diri untuk menari. Aku mengikuti arus itu, partitur nada yang menggerakkan raga begitu saja. Aku berekstase, menerbangkan para kumpeni ke alam mimpi.
Api, tanah, air dan angin dalam tarian ini menembus ruang mata para kumpeni yang nganga larut dalam kelembutan. Gerak agung ini pun menyihirku. Berkali-kali takjub mataku menyaksikan cindhe kembang ungu tua yang kami kenakan bermekaran. Di ambang cahaya yang semakin temaram, kembang-kembang itu merekah segar. Mereka hidup, menawarkan mimpi ungu surgawi dalam balutan perang berselubung gemulai tari.
Arak pun mengisi ruangan. Inilah hidup yang sebenarnya, mampir ngombe. Dan inilah hidup yang sebenarnya bagi kami, panggung halus yang merasuk tulang belakang. Kami akan pertahankan tanah kelahiran kami. Cindhil merah itu terus menenggak arak ketan ke mulut mereka yang lebar. Beberapa kali roncean tiba dhadha tersibak, menebarkan wangi yang gaib. Aroma kematian. Aku tergigil dalam tarian. Musik bergelombang pelan. Angin berhembus dingin menerbangkan harum melati, kantil dan kamboja, mengalahkan aroma kecut ragi ketan di cawan-cawan yang tak henti mereka telan.
Entah pada nada ke berapa, gamelan menaikkan dan mempercepat bunyi,. tubuhku mulai mengkilap oleh keringat. Gerak gemulai ini menghabiskan energi yang setara dengan seratus kali tikaman belati. Duduk, berdiri dan berputar berlahan seperti api yang tenang membakar. Seperti angin jahat yang perlahan menerbangkan nafsu duniawi, seperti menggali tanah sebelum mengubur diri sendiri, seperti berenang melawan arus seribu pusar air di kedalaman. Tubuhku lelah, gamelan sendu terus mengalun.
Kukibaskan sampir putih hingga jatuh ke pangkuan. Sampir putih yang menjadi bukti ketulusanku mengabdi pada negeri ini. Aku mengatur nafas menolak lelah, tak sedetikpun aku boleh lengah. Aku terus menari.
Mata para kumpeni itu mulai memerah. Hanya cawan arak dan tuak itulah yang mengalihkan pandangan mereka dari pentas. Selebihnya, mata itu menatap kami dari kepala hingga ujung kaki. Jemparing, jebeng, pistol dan cundrik tersimpan rapi di lipatan kain. Kami harus terus bersiaga. Sesekali senjata itu tergenggam dalam adegan tarian, dan lagi-lagi kami harus menahan diri dari kepungan mata laknat kumpeni. Kami harus bisa mengelabui kumpeni dengan siasat ini.
Para kumpeni dan Kanjeng Sinuhun telah membahas perjanjian. Perjanjian perihal kedudukan pantai pesisir utara dan hutan-hutan jati di sekitarnya. Kupasang telinga dan mata bersiaga. Arak dan tuak sudah bekerja. Suasana mulai gempita. Para kumpeni  tertawa-tawa. Aroma keringat mereka menguar ke udara. Bacin, kecut, seperti aroma keju campur cerutu. Waktu berjalan lamban. Aku yakin tak ada yang sia-sia. Aku percaya pada rencana yang telah dititahkan Kanjeng Sinuhun.
Gamelan terus melantun. Sesaat sunyi mencekam, kawanan buto bule itu pun menandatangani kertas perjanjian. Cawan tuak kosong berserakan. Kanjeng Sinuhun mengerdipkan mata pada niyaga. Gamelan kembali menggema. Sesekali tawa mereka meledak memenuhi ruangan. Kanjeng Sinuhun tersenyum. Cita-cita telah tercapai. Kami berhasil menaklukkan mereka dalam perang yang gemulai tanpa pertumpahan darah. Pertunjukan usai. Kami bersimpuh duduk tegak takzim di pinggir ruangan, mengatur nafas lelah agar tak terdengar. Letih luar biasa. Inilah sebenarnya pertarungan kesatria perempuan.
Kanjeng Sinuhun telah menyiapkan kereta kencana dengan dua kuda putih di halaman. Sambil tertawa mereka berjalan sempoyongan, bersender di saka guru dan tatal pendopo. Tubuhnya doyong hampir rubuh. Beberapa prajurit jaga membantu mereka memasuki kereta. Mereka menyanyikan lagu berbahasa Belanda dengan nada sumbang. Kanjeng Sinuhun berjalan ke depan, melepas tamu-tamu hingga hilang dari pandangan.
*
Rara Ireng membawa kudanya berlari menempuhi riak-riak ombak di sepanjang pantai utara. Ia berhenti di ambang pantai. Dituntunnya Ireng, kudanya yang hitam mengilat gagah berani. Berdua mereka berjalan beriringan di sepanjang pantai. Ditatapnya pasir pantai yang lolos dari cengkeraman kaum kumpeni. Inilah Pesisir yang ia pertahankan dengan gemulai pusaka agung tarian perang beberapa bulan yang lalu agar tak jatuh ke tangan penjajah.
Ditatapnya bulan sabit yang menghias langit. Sesaat lagi fajar merah akan merekahkan pantai. Ia menangkupkan telapak tangan untuk bersemadi. Dari arah selatan terdengar derap-derap kuda melaju. Ditajamkannya pandangan dan pendengaran. Gerombolan kuda itu tak berbendera, tak berpanji. Alis hitamnya segera menaut demi melihat penunggang kuda yang melaju ke arahnya. Seketika dicabutnya cundrik dari lipatan baju. Cundrik hadiah dari Kanjeng Sinuhun setelah pementasan. Ia tahu, makhluk-makluk merah yang serakah itu akan mengkhianati perjanjian.
Rumah Ladam, Januari 2014
Dicatat dalam Koran Tempo, 2 Maret 2014

Gethek : rakit dari bambu
Bokor mengkurep : jenis sanggulan rambut
Abdi dalem : pegawai istana
Bokor : bejana tempat air
Wingit : keramat
Niyaga : pemusik gamelan
Cindhil : anak ikus yang masih merah
 Cundrik : keris kecil
Cindhe kembang : salah satu jenis motif batik
Mampir ngombe : mampir minum, falsafah hidup orang jawa memahami hakikat hidup di dunia
Tiba dhadha : roncean kembang melati yang biasanya digunakan para pengantin, disampirkan di bagian samping dada
Jemparing : panah
Jebeng : tombak pendek
Buto : raksasa jahat
Saka guru : tiang rumah

Puisi yang Menolak Sajak




Segala sesuatu yang diciptakan manusia selalu menuju kesederhanaan. Kesederhanaan adalah bentuk paling sempurna (Alessandro Dumas).

Ambiguitas Definisi
Dua kekuatan Dian Hartati (DH) dalam puisi-puisinya adalah kesederhanaan dan imajinasi. Cerita yang sebenarnya kecil, jamak, lekat, dekat dan terlihat, namun digambarkan dengan imajinasi tak biasa. Imajinasi yang terasa ringan tanpa beban, jenaka, ceria, tidak sentimentil, tidak satir dan tidak menyindir, tanpa mengurangi nilai-nilai yang disampaikan. Puisi yang tidak berlebihan, tepat porsi dan sarat gizi.
Semula saya berpikir puisi adalah sebuah karangan terikat sebagaimana definisi yang telah ditanamkan oleh guru-guru jaman kita sekolah dulu, dituliskan dalam buku-buku materi pembelajaran sastra dan bahasa Indonesia, dan bahkan secara resmi tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kurang lebih disebutkan dalam definisi tersebut bahwa puisi adalah karangan yang terikat oleh rima, matra, penulisan bait, dan gubahan serta larik-lariknya. Semua ada aturannya. Bunyi, jumlah, diksi, persajakan dan semua kerumitan-kerumitan itu.
Semakin mempelajari dan membaca puisi dan berbagai literatur, yang saya temui adalah ambiguitas. Sedikit demi sedikit akhirnya saya harus melepas definisi. Beberapa puisi dan penyair masih bertahan dengan “ikatan-ikatan” puisi. Bahwa rima, nada, diksi dan jumlah suku kata merupakan elemen yang tetap “melekat” pada puisi.
Saya sendiri sedikit menulis puisi, dan  sulit melepas apa yang kadung rekat dalam benak saya tentangnya. Definisi dan perkembangan puisi yang sangat luas dan berubah-ubah secara subjektif inilah yang sering menjadikan saya terus bertanya, apa definisi yang paling tepat dari puisi. Sebagian besar penyair modern membebaskan puisi dari ikatan-ikatan. Sebagian lagi masih merasa perlu mempertahankan kestabilan definisi. Semua soal subjektifitas. Dan memang, subjektifitas inilah yang menjadi kekuatan puisi. Begitu utuh, multitafsir. Hingga akhirnya saya membaca Upacara Bakar Rambut (UBR) ini.
Mendongkrak Definisi, Menyusun Keabstrakan
Ini bukan hal yang mudah, melepaskan puisi dari ikatan-ikatan sebagaimana galibnya puisi yang telah kita kenali, yang telah menjadi kesepakatan dan telah tercatat secara resmi di lembaga kebahasaan. Inilah yang menjadi kekuatan besar DH. DH menyuguhkan kebebasan. Ia membebaskan setiap kata dalam puisinya menyusun imajinasinya sendiri. Dan tentu saja, untuk semua itu, selalu ada yang dipertaruhkan. Mengabaikan matra, melepaskan sajak, dan membebaskan rima, merupakan kerja besar penuh resiko, karena notabene semua itu elemen penting puisi. Dan DH membuktikan semua itu dengan menyusun kekuatan yang lebih besar dari puisinya : imajinasi.
DH seolah tidak tidak perlu berburu kata-kata puitis, persajakan, menggali-gali kata, fakta, ataupun upaya-upaya yang biasa dilakukan penyair demi “panggung baca” yang indah, demi gaung yang tepat untuk lekat di hati pembaca, demi performance dengar yang menghanyutkan.
DH membangun imajinasi justru ketika kata benar-benar terbebas. Kata menjadi kebas dari semua definisi yang dituntutkan puisi. Dan semua itu secara total dimulai dari awal, dari judul yang ditampilkan. Dapatlah kita cermati kembali judul-judul dalam buku puisi ini : Ikan yang Pusing, Laut Telah Pindah Rumah, Keluarga Spora, Rasa Bumbu Kuning, Malam-malam Menyeberang di Laut, dst. Subjektif saya katakan, untuk ukuran puisi, ini bukan judul yang puitis apalagi romantis. Namun puisi ini telah membuktikan panggung yang dibentuknya sendiri. Imajinatif. Saya akan mengambil satu sampel puisi yang cukup mewakili untuk ulasan ini.
Ikan yang Pusing
pagi-pagi sekali pasar kudatangi
sepi tak ada peminat
hanya ombak yang bergulungan
menyampaikan buih sampai di pijakan

memang tak ada angin
tapi, ombak berlarian mempermainkan ikan-ikan
aku mencari daratan yang lain
barangkali saja pedagang pindah tempat
sebab pasar jadi laut
dan laut pindah ke tengah kota

aku mendengar orang-orang berbisik
ramai sekali
seperti angin yang mengikuti
banyak mata di belakang
aku rasa itu mata ikan
Menganggap aku nelayan yang punya umpan

segera aku berbalik
banyak patung ikan muncul di lautan
ombak kian mengganas
ombak menyeret nyawa-nyawa
termasuk ikan
dan aku memilih menu yang lain

Kalau boleh saya membayangkan tentang peristiwa yang disampaikan dari puisi di atas adalah peristiwa alam yang besar. Peristiwa hebat yang menyangkut nyawa dan keselamatan manusia. Namun dalam puisi tersebut penyair menggambarkan dengan cara yang ringkas, dengan potret abstrak yang sederhana. Kita seperti disodori mozaik gambar yang diterjemahkan secara pendek saja: pergi ke pasar, orang-orang ribut, dan air laut meluap. Begitu sederhana dan simple saja. Sementara peristiwa yang sebenarnya terjadi sangatlah heboh, setidaknya banjir bandang atau tsunami.
Air laut yang pasang, manusia terancam hanyut, dan keadaan yang demikian genting. Semua itu diungkapkan dengan partitur datar, seolah penyair membawa kita untuk membayangkan peristiwa biasa yang terjadi sehari-hari, yang bisa diungkap dengan bahasa lisan yang diungkapkan pada mitra bicara secara dekat. Tanpa sajak, tanpa rima, tanpa aturan paten puisi. Dengan gambar puzzle sederhana yang acak, dan seolah tidak saling berhubungan. Puisi yang mengungkapkan hal besar dengan begitu sederhana namun lugas. Puisi DH ini mengantarkan saya pada kesadaran: tidak perlu bertele-tele dalam mengungkapkan sesuatu yang besar. Puisi-puisi yang dilahirkan untuk menceritakan sesuatu (musibah, dalam puisi ini) dengan cara yang tabah, ringan saja. Puisi yang easy come easy go. Tidak menuntut, dan tidak memaksa pembaca dengan kata-kata puitis yang berat dan butuh perenungan lebih dalam untuk memahaminya.
Kejenakaan yang Magis
Dengan kesederhanaan imajinasi ini pada akhirnya memunculkan keriangan-keriangan kecil. Kebahagiaan yang terselip dalam puisi, apapun tema yang ditampilkan. Puisi-puisi DH mampu menampik rasa duka, sentimentil, atau pula rasa haru dari kisah yang disampaikan dalam puisi, dari kisah sehari-hari yang dituangkan dalam puisi. Ini tidak mudah, menciptakan warna yang ceria dari hal-hal yang mengharukan dalam bentuk puisi.
Hal ini muncul juga pada beberapa puisi yang bercerita tentang kematian, tentang kepergian seorang terkasih yang ada pada judul Aku Mencintaimu Bersama Kematian yang Datang, Begitu Aku Berbisik di Telingamu, Menghapusmu, Kes.., Berjalan di Bawah Keranda, dan yang paling lucu adalah puisi Wangi Bunga yang Mengikuti, lagi-lagi saya berhadapan dengan kebebasan itu, dengan imajinasi-imajinasi konyol itu, dengan kepingan-kepingan puzle yang terpotong acak itu, dengan kejenakaan itu. Kematian, yang seharusnya merupakan hal yang sacral dan pahit, tiba-tiba kita disajikan pada kekonyolan tingkah manusia yang menanggapinya, dan DH menulis dengan gambar simple saja. Dengan diksi ringan tanpa mengurangi emosi puisi. Kita bisa menikmati perasaan sentimentil, duka dan ke-belum-relaan perasaan ditinggalkan oleh kekasih yang meninggal.
Sedikit saya nukilkan puisi Wangi Bunga yang Mengikuti:
saat aku mencuci baju,
wangi bunga datang lagi
kau tahu, ini kali pertama
aku mencuci tanpa bajumu
            (Wangi Bunga yang Mengikuti)
            Aneh memang, kata atau lebih tepatnya kegiatan mencuci baju masuk dalam diksi dan bahkan fragmen sebuah puisi. Tapi toh saya terharu juga. Toh saya tersenyum juga. Dan inilah yang saya sebut sebagai magis itu. Ketika dengan diksi yang sederhana, lugu, ringan, santai dan lekat dengan kehidupan sehari-hari, penyair mampu menggali perasaan dan keterharuan pembaca. Puisi yang mampu menghadirkan perasaan sentimentil, romantika, kronik, dalam kegiatan atau ungkapan sederhana. Saya pikir itu bukan hal yang mudah, apalagi menjadikannya dalam bentuk puisi. Dan ini terjadi pada rataan puisi dalam buku ini. Dan ini membuat saya semakin percaya, bahwa terlepas dari karya sastra, kejenakaan adalah unsure utama kecendekiaan.
Tidak banyak penyair yang bisa melakukan ini, yang secara gembling melepaskan puisi dari ikatan-ikatan definisi. Melepaskan puisi dari tuntutan yang mengikatnya. Puisi yang diksi dan kata-katanya tidak sentimentil, yang kata-kata di dalamnya membebaskan diri untuk menyusun ceritanya sendiri, dan membiarkan kata-kata berkembang menyusun fragmen tanpa penyair harus menyelaraskan aksi panggung pembaca.
Puisi, dengan segenap kekuatan dan kelemahannya mengajak pembaca untuk berkelana menjajagi bentuk kata dan imajinasi. Puisi sebagai refleksi diri. Puisi sebagai rahim dari keresahan yang lahir oleh waktu. Bahwa dengan puisi, seorang penyair harus dibebaskan, bukan dikekang. Bahwa dengan puisi, seorang penyair dan pembaca dapat merasa bahagia. Buku UBR ini telah membuktikan kepada saya tentang itu semua. J

Karisma Fahmi Y
Ditulis untuk Festival Sastra Solo, 22-23 Februari 2014

Geguritan dalam Antologi Timur Gumregah, Festival Sastra Solo, 22-23 Februari 2014



Nagari Korupsi
Nagari kang tumuju teluh tanpa sinuluh,
Manungsa kang ora pakewuh
Sanadyan dudu tanpa kawruh

Sinerat ana ing kursi
kang dhuwur punggawane nagari iki

Sakkabehe mula tinutur
Kang nyenyuwun marang dhiri
Pinilih dumadi ksatria
kang bisa nyembadani negara
Hamung tutur kang kalantur
Sakkabehing kuwi mung janji
kang dadi pepingin kang ora tumindak,
kang dadi pemimpin klangenan memidak

Babad kang cumepak
Ratu cilik kang kuwasa
Tumindak marang raja brana
Ingkang duwenipun negara
Tanpa beda alas segara
Kang hanguripi pun dibabati
Manah ati tanpa sumelang
Sedayanipun kedah gampang
Arta bawana pun dum
marang sedaya rencang

Tebihipun lumangkah Gusti
kang sageda maringi prakawis
Nagari arupa donya tanpa luh
Ati lan akal kang runtuh
Lumaku kang kapatuh
: korupsi kang nyawiji
                        Surakarta, Oktober 2012
         
 Radio Wengi Iki
/I/
Aku isih ngenteni suara iku
Pawarta kang pengin dak waca
Ing lemah kang kajaba lemah iki
/II/
Radio iki isih cerita
Babagan sejarah kang ora iso obah
Mengeti kita catetan jaman
Catetan kang kliwat marang pangeling
/III/
Tansah diputerake tembang
Kang mingetake aku marang gitarmu
Dak jupuk harmonika ing kotak
Kang isih ana jenengmu
Alon-alon dak nyanyeake tembangmu
Uga dak siapake kacu ing tanganku
                                    Surakarta, Februari 2013
         
 Langgam Subuh
Lintang kemukus tansah binungkus
Suryo durung kecandhak dino
Dinungo manungsa marang Kuasa

Kembang kang ngebun-ebun
Jejaya raja brana
Kang lahir saking lemah

Subuh bakal salin kanthi sececah
Tlatah uga siap nulisake sejarah
                                                Surakarta, April 2013