Rara
Ireng menatap sekali lagi merah cermai yang lekat di bibirnya. Dipatutnya bayangan
pada cermin lonjong di depannya. Sebelumnya ia tak pernah membayangkan tubuh
dan rupanya akan sesempurna itu. Ia nyaris tak percaya bayangan itu adalah
dirinya.
Ia
pernah pergi ke tengah kali dan menatap parasnya. Air bergelombang ketika gethek yang ditumpanginya berjalan pelan
menyibak riak sungai yang kecoklatan. Sesekali ikan cucut mengikuti bayangannya,
seolah mengolok rupanya yang sawo matang. Pada sekilas guratan air yang
bergelombang itu, ia menemukan dirinya.
Tapi
di depan cermin lonjong malam itu, ia hampir tak dapat mengenali dirinya. Kulitnya
berubah menjadi kuning langsat setelah aneka lulur diborehkan selama ia tinggal
di keputren ini. Ia merasa asing dengan bayangan itu. Di pantulan bayangan
cermin ia kehilangan wajahnya, kehilangan rupa yang selama bertahun-tahun
dimilikinya.
Ia
membenahi sanggulnya. Bokor mengkureb
itu sungguh berat memasung kepala hingga lehernya. Dengan sanggul ini, kau tak bisa bergerak sembarangan. Sanggul ini akan
menjadi kekuatanmu, kata mbah Yayi. Dua bulan penuh ia berlatih menari pada
mbah Yayi di pendopo keputren keraton. Itu bukan hal ringan. Ia bersama tiga
anggota telik sandi lain ditugaskan
untuk mengikuti latihan menari Serimpi untuk menyambut kedatangan sang gupermen kumpeni.
Bergeraklah dengan pikiranmu, jangan hanya menggerakkan tubuhmu. Biarkan gamelan
membawa jiwamu. Bergeraklah dengan pelan,
ringan, gemulai seperti mimpi. Bawalah tuanmu menuju mimpi. Itulah tujuan Serimpi,
kata mbah Yayi lagi, menjawil ujung dagunya.
Jangan lupa tersenyum.
Pentas
tari adalah rahasia yang harus ia penuhi
malam itu. Nyali benar-benar diuji. Tak seperti tugas-tugas biasanya ketika ia
menjadi kesatria, menjadi mata-mata, pemburu atau bahkan pembunuh. Kali ini ia
menjadi penari. Jelas ia tak akan mengenakan topeng penutup muka. Kini ia adalah
tombak, perisak yang langsung menghadang sasaran. Ini adalah kali pertama ia
harus percaya pada kelemah-lembutan dalam menghadapi lawan. Tugas berat itu
langsung diperintahkan Kanjeng Sinuhun padanya. Berbulan-bulan ia menatah diri
menjadi perempuan lembut sempurna dalam balutan gemulai tari agung putri kahyangan.
Rara
Ireng menarik nafas dalam-dalam. Dadanya berdebar. Kelonengan gamelan di
pendopo keraton mulai dimainkan. Sekali lagi dipatutnya kaca. Centhung, garudha mungkur, sisir jeram sa’ajar
dan cundhuk menthul masih
terpasang apik di sanggulnya. Ia merasa terlalu berlebihan. Namun ia tahu,
bedak kuning yang dipasang di mukanya memang untuk menyembunyikan dirinya.
Menyembunyikan jati dirinya. Menjadi diri yang tak dikenali.
Tak
ada yang tak kenal Rara Ireng. Anggota telik
sandhi yang telah dikenal karena ketangguhan dan keberaniannya. Parasnya
akan mudah dikenali kaum kumpeni. Pupur
kuning temanten itu akan mengaburkan semuanya.
Gamelan
berkeloneng merdu. Barisan abdi dalem
duduk bersimpuh menunggu Kanjeng Sinuhun. Rara Ireng menghaturkan sembahnya
takzim. Abdi dalem membawa bokor
berisi air kembang, mengharap keselamatan dan keberhasilan. Sinuhun berjalan
menuju pendopo utama. Dengan tangan menyembah, Rara Ireng berjinjit mengikut di
belakang.
*
Aku tak membayangkan pendopo akan sewingit ini. Ruangan menjadi lebih terang.
Niyaga khidmat menabuh gamelan. Nada
yang lamat-lamat terdengar menyayat. Aroma kamboja menyengat ruangan. Ini
adalah misi besar yang harus terlaksana. Upaya ini harus berhasil, Kanjeng
Sinuhun harus bisa menyelamatkan pantai pesisir utara dari tangan serakah
Belanda. Dan demi itulah aku berada di sini. Menjadi garis depan. Pesisir utara
adalah tanah air tempat segala cintaku bermula. Apapun bisa terjadi hari ini. Senjata
yang kusemat ini akan menjadi bekal ketika semua harus berakhir tak sesuai
rencana. Tak ada lagi permainan. Peluru pun siap ditembakkan. Aku harus
mengasah kesabaran. Inilah harga mahal untuk kemerdekaan.
Panji-panji
perang tegak berjajar di tepi ruangan. Semoga kumpeni merah itu tak peduli makna panji-panji ini. Aku tersentak. Benar-benar
kurang ajar cindhil raksasa ini.
Mereka duduk sejajar dengan Kanjeng Sinuhun!! Kalau bukan demi misi ini pasti
sudah kugorok leher mereka yang gendut berlipat itu dengan cundrik. Tapi aku sadar, kesombongan mereka memang harus
ditaklukkan. Dan untuk itulah aku berada di sini. Mengelabui makhluk merah itu
dan menanggalkan keserakahan mereka.
Lembut
suara gamelan memenuhi ruangan. Gaungnya membawa siapa saja pada bayangan surga.
Dadaku berdegub kencang. Akankah Serimpi Sangopati ini benar-benar menjadi
jalan kematian? Aku menghayati alunan lembut itu. Senyum manis harus segera kurekahkan.
Senyum yang melambangkan api yang beterbangan dalam diri manusia. Keserakahan
dan kesombongan mereka harus ditumbangkan. Kini aku tahu, mengapa aku harus merias
diri sedemikian rupa untuk tarian ini. Karena itulah satu-satunya hal yang
dapat menjadi pembeda. Aku harus bisa melepas diriku sendiri dan benar-benar
menjadi penari. Pupur tebal yang
mengelabui diriku sendiri. Mungkin juga akan mengelabui mautku. Juga para kumpeni itu. Mereka tak boleh tahu arti semua
ini. Mereka tak boleh tahu siapa aku, anggota telik sandhi yang biasa menyusup
ke sarang mereka.
Gayatri
menangkap keresahanku dengan siaga. Dialah yang menjadi angin dalam pementasan
ini. Serimpi Sangopati. Drama sederhana tentang pertarungan. Sebuah peperangan
yang dilakukan dalam gerak halus gemulai suargaloka. Drama pertarungan manusia
menuju mimpi sebelum menghadapi kematian.
Dengung
gong lembut bergema membawa angan ke dunia yang tak terjamah. Dunia abstrak
Serimpi Sangopati. Benar nasehat Mbah Yayi, biarkan musik membawa diri untuk menari.
Aku mengikuti arus itu, partitur nada yang menggerakkan raga begitu saja. Aku berekstase,
menerbangkan para kumpeni ke alam
mimpi.
Api,
tanah, air dan angin dalam tarian ini menembus ruang mata para kumpeni yang nganga larut dalam
kelembutan. Gerak agung ini pun menyihirku. Berkali-kali takjub mataku
menyaksikan cindhe kembang ungu tua
yang kami kenakan bermekaran. Di ambang cahaya yang semakin temaram, kembang-kembang
itu merekah segar. Mereka hidup, menawarkan mimpi ungu surgawi dalam balutan
perang berselubung gemulai tari.
Arak
pun mengisi ruangan. Inilah hidup yang sebenarnya, mampir ngombe. Dan inilah hidup yang sebenarnya bagi kami, panggung
halus yang merasuk tulang belakang. Kami akan pertahankan tanah kelahiran kami.
Cindhil merah itu terus menenggak
arak ketan ke mulut mereka yang lebar. Beberapa kali roncean tiba dhadha tersibak, menebarkan wangi
yang gaib. Aroma kematian. Aku tergigil dalam tarian. Musik bergelombang pelan.
Angin berhembus dingin menerbangkan harum melati, kantil dan kamboja,
mengalahkan aroma kecut ragi ketan di cawan-cawan yang tak henti mereka telan.
Entah
pada nada ke berapa, gamelan menaikkan dan mempercepat bunyi,. tubuhku mulai mengkilap
oleh keringat. Gerak gemulai ini menghabiskan energi yang setara dengan seratus
kali tikaman belati. Duduk, berdiri dan berputar berlahan seperti api yang tenang
membakar. Seperti angin jahat yang perlahan menerbangkan nafsu duniawi, seperti
menggali tanah sebelum mengubur diri sendiri, seperti berenang melawan arus seribu
pusar air di kedalaman. Tubuhku lelah, gamelan sendu terus mengalun.
Kukibaskan
sampir putih hingga jatuh ke pangkuan. Sampir putih yang menjadi bukti
ketulusanku mengabdi pada negeri ini. Aku mengatur nafas menolak lelah, tak
sedetikpun aku boleh lengah. Aku terus menari.
Mata
para kumpeni itu mulai memerah. Hanya
cawan arak dan tuak itulah yang mengalihkan pandangan mereka dari pentas.
Selebihnya, mata itu menatap kami dari kepala hingga ujung kaki. Jemparing, jebeng, pistol dan cundrik tersimpan rapi di lipatan kain.
Kami harus terus bersiaga. Sesekali senjata itu tergenggam dalam adegan tarian,
dan lagi-lagi kami harus menahan diri dari kepungan mata laknat kumpeni. Kami harus bisa mengelabui kumpeni dengan siasat ini.
Para
kumpeni dan Kanjeng Sinuhun telah membahas
perjanjian. Perjanjian perihal kedudukan pantai pesisir utara dan hutan-hutan
jati di sekitarnya. Kupasang telinga dan mata bersiaga. Arak dan tuak sudah
bekerja. Suasana mulai gempita. Para kumpeni
tertawa-tawa. Aroma keringat mereka
menguar ke udara. Bacin, kecut, seperti aroma keju campur cerutu. Waktu berjalan
lamban. Aku yakin tak ada yang sia-sia. Aku percaya pada rencana yang telah
dititahkan Kanjeng Sinuhun.
Gamelan
terus melantun. Sesaat sunyi mencekam, kawanan buto bule itu pun menandatangani kertas perjanjian. Cawan tuak kosong
berserakan. Kanjeng Sinuhun mengerdipkan mata pada niyaga. Gamelan kembali menggema. Sesekali tawa mereka meledak
memenuhi ruangan. Kanjeng Sinuhun tersenyum. Cita-cita telah tercapai. Kami
berhasil menaklukkan mereka dalam perang yang gemulai tanpa pertumpahan darah. Pertunjukan
usai. Kami bersimpuh duduk tegak takzim di pinggir ruangan, mengatur nafas lelah
agar tak terdengar. Letih luar biasa. Inilah sebenarnya pertarungan kesatria
perempuan.
Kanjeng
Sinuhun telah menyiapkan kereta kencana dengan dua kuda putih di halaman. Sambil
tertawa mereka berjalan sempoyongan, bersender di saka guru dan tatal pendopo.
Tubuhnya doyong hampir rubuh. Beberapa prajurit jaga membantu mereka memasuki
kereta. Mereka menyanyikan lagu berbahasa Belanda dengan nada sumbang. Kanjeng Sinuhun
berjalan ke depan, melepas tamu-tamu hingga hilang dari pandangan.
*
Rara
Ireng membawa kudanya berlari menempuhi riak-riak ombak di sepanjang pantai
utara. Ia berhenti di ambang pantai. Dituntunnya Ireng, kudanya yang hitam mengilat
gagah berani. Berdua mereka berjalan beriringan di sepanjang pantai. Ditatapnya
pasir pantai yang lolos dari cengkeraman kaum kumpeni. Inilah Pesisir yang ia pertahankan dengan gemulai pusaka agung
tarian perang beberapa bulan yang lalu agar tak jatuh ke tangan penjajah.
Ditatapnya
bulan sabit yang menghias langit. Sesaat lagi fajar merah akan merekahkan
pantai. Ia menangkupkan telapak tangan untuk bersemadi. Dari arah selatan terdengar
derap-derap kuda melaju. Ditajamkannya pandangan dan pendengaran. Gerombolan kuda
itu tak berbendera, tak berpanji. Alis hitamnya segera menaut demi melihat penunggang
kuda yang melaju ke arahnya. Seketika dicabutnya cundrik dari lipatan baju. Cundrik
hadiah dari Kanjeng Sinuhun setelah pementasan. Ia tahu, makhluk-makluk merah
yang serakah itu akan mengkhianati perjanjian.
Rumah Ladam, Januari
2014
Dicatat dalam Koran
Tempo, 2 Maret 2014
Gethek : rakit dari bambu
Bokor mengkurep : jenis
sanggulan rambut
Abdi dalem : pegawai istana
Bokor : bejana tempat air
Wingit : keramat
Niyaga : pemusik gamelan
Cindhil : anak ikus yang masih
merah
Cundrik : keris kecil
Cindhe kembang : salah satu
jenis motif batik
Mampir ngombe : mampir minum,
falsafah hidup orang jawa memahami hakikat hidup di dunia
Tiba dhadha : roncean kembang
melati yang biasanya digunakan para pengantin, disampirkan di bagian samping
dada
Jemparing : panah
Jebeng : tombak pendek
Buto : raksasa jahat
Saka guru : tiang rumah
